Kejagung Disorot Soal Oplosan BBM Pertamina hingga Rugikan Negara Hampir Rp1.000 Triliun, Seringkali Bombastis di Awal

  • Bagikan
Kejaksaan Agung (Kejagung)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi menyentil Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan korupsi di Pertamina.

“Tapi seringkali narasi Kejaksaan ini hanya bombastis di awal,” kata Islah dikutip dari unggahannya di X, Jumat (28/2/2025).

Islah mengatakan kerap kali kejaksaan menggembar-gemborkan dugaan korupsi dengan nilai fantastis. Sehingga buat heboh.

“Nilainya dibuat fantastis supaya kesan penangkapannya mewah dan populer,” ujarnya.

Namun dalam beberapa kasus, kata Islah. Seperti di kasus Timah dan Tom Lembong, belakangan kejaksaan tidak bisa membuktikan nilai korupsi dimaksud di awal.

“Seperti kasus Timah yang konon ratusan triliun dan Tom Lembong ratusan miliar, belakangan berubah jadi sekedar ‘potensi’ kerugian negara,” jelasnya.

Ia mengambil contoh kasus timah. Mulanya disebut Rp300 triliun. Tapi pembuktiannya tidak sebesar itu.

“Nah itu dia. Kasus Timah nilai korupsinya dibilang Rp300 Triliun. Publik kaget. Tapi lebih kaget lagi ketika vonisnya hanya 6.5 tahun. Ya jelas, karena di persidangan pembuktiannya tidak sebesar itu,” terangnya.

“Baru setelah banding, vonis bisa diperberat. Itupun karena kuatnya dorongan publik,” tambahnya.

Sebelumnya Kejaksaan Agung mengatakan praktik oplosan bahan bakar minyak RON 90 menjadi RON 92 dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terjadi pada tahun 2018–2023.

Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar untuk merespons adanya isu masih adanya bahan bakar minyak (BBM) oplosan yang beredar di masyarakat.

"Terkait adanya isu oplosan, blending, dan lain sebagainya, untuk penegasan, saya sampaikan bahwa penyidikan perkara ini dilakukan dalam tempus waktu 2018 sampai 2023. Artinya, ini sudah dua tahun yang lalu,” kata Harli di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan fakta hukum kasus ini adalah dalam kurun waktu 2018–2023, PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembayaran untuk BBM berjenis RON 92, padahal sebenarnya membeli BBM berjenis RON 90 atau lebih rendah, yang kemudian dilakukan blending di storage atau depo untuk diubah menjadi RON 92. Artinya, barang yang datang tidak sesuai dengan harga yang dibayar.

"Fakta hukumnya, kasus ini pada tahun 2018–2023 dan ini sudah selesai. Minyak ini barang habis pakai. Tempus 2018–2023 ini juga sedang kami kaji. Apakah pada 2018 terus berlangsung sampai 2023 atau misalnya sampai tahun berapa dia," ujarnya.

Kerugian negara di kasus ini disebut Rp193,7 triliun per tahun. Artinya Rp968,5 triliun selama lima tahun.
(Arya/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan