Ia juga mempertanyakan sistem quality control dalam program ini, termasuk peran ahli gizi dalam memastikan makanan yang disajikan memenuhi standar gizi yang layak.
"Kalau sekarang terjadi (dugaan keracunan), tanyakan ke BGN. Bagaimana quality control-nya?" tegasnya.
Agus sejak awal sudah mengkhawatirkan program ini. Ia menilai MBG dijalankan tanpa persiapan yang matang, sehingga pengawasannya lemah dan berdampak pada keamanan konsumsi anak-anak.
"Saya cuma bisa berdoa semoga tidak ada fatality (kematian)," kata Agus.
Sebagai respons atas permasalahan yang muncul, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mewajibkan semua Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program MBG untuk mengunggah menu makanan mereka setiap hari ke media sosial. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan transparansi dan memastikan adanya kontrol terhadap kualitas makanan.
"Kami sudah meminta seluruh satuan pelayanan membuat media sosial sendiri, seperti Instagram dan Facebook, dan wajib meng-upload masakan mereka setiap hari," kata Dadan.
Namun, langkah ini mendapat kritik dari Agus yang meragukan efektivitasnya.
"Bagaimana kontrolnya? Memang dari sosial media bisa ketahuan, itu berbakteri atau enggak? Atau itu rasanya enak atau enggak? Emang bisa?" ujar Agus mempertanyakan.
Menurutnya, pengawasan langsung dan pemeriksaan rutin terhadap dapur penyedia makanan jauh lebih penting dibandingkan sekadar unggahan di media sosial. Ia menekankan bahwa setiap dapur harus diperiksa kebersihannya, mulai dari alat masak hingga bahan baku yang digunakan.