FAJAR.CO.ID, MAKASSAR – Di balik hiruk-pikuk aktivitas Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar, tersembunyi cerita perjuangan seorang kuli panggul bernama Nursam (57).
Sudah bertahun-tahun ia mengandalkan tenaganya untuk mengangkat barang penumpang kapal, meski penghasilannya tak menentu dan jauh dari kata cukup.
"Hidup dari buruh panggul tidak cukup. Pendapatan satu hari itu tidak menentu," ujar Nursam dengan wajah lelah namun penuh ketegaran, Selasa (18/3/2025).
Ia mengaku hanya mengandalkan pekerjaan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Untuk kebutuhan hari-hari saya cuma mengandalkan ini. Tidak ada kerja sampingan," tambahnya.
Nursam tinggal di Bunga Ejayya, Makassar, bersama keluarganya.
Ia telah berumah tangga dan memiliki tiga anak, dua di antaranya sudah bekerja.
Salah satu anaknya membantu meringankan beban keluarga dengan bekerja di Pasar Butung, berjualan sepatu.
"Cuma anak yang biasa bantu, dia kerja sama orang di Pasar Butung, jual-jual sepatu," cerita Nursam.
Sebagai buruh panggul, Nursam tidak memiliki penghasilan tetap.
"Biasa sehari seratus ribu, paling banyak. Kadang tidak ada. Kami hanya dapat harian, tidak ada bulanan," bebernya.
Jadwal kerjanya pun mengikuti kedatangan dan keberangkatan kapal.
"Saya masuk sesuai jadwal sandarnya kapal. Seperti ini, mau masuk kapal kita menunggu, sampai berangkat," jelasnya.
Dalam sehari, Nursam bisa mengangkat barang tiga kali, atau bahkan tidak sama sekali.
"Dalam sehari biasa tiga, satu, biasa tidak ada. Kalau tidak ada, tidak kerja juga," terangnya.
Ketika banyak kapal masuk, para buruh panggul seperti Nursam dibagi dalam shift berdasarkan warna seragam.
"Kalau banyak kapal masuk, biasa bedai burunya. Ada hijau, ada cokelat. Jadwal kerjanya dibagi shift istilahnya, bukan bagi kapal," jelasnya.
Nursam menjelaskan, shift kerja biasanya berlangsung selama empat jam dengan pendapatan terendah Rp50 ribu. Namun, tidak semua penumpang membutuhkan jasa kuli panggul.
"Tidak selamanya juga angkat barang. Buru mobil, penumpang. Tidak semua penumpang diangkat barangnya," Nursam menuturkan.
Jika ada penumpang yang membutuhkan bantuan mengangkat barang, Nursam dan rekan-rekannya akan dibayar langsung oleh penumpang tersebut.
"Tarifnya sesuai keputusan, biasa ditawar sampai cocok harga," tambahnya.
Tarif yang biasa ia terima bervariasi tergantung jumlah dan jenis barang. "Yang Rp100 ribu itu biasa koper tiga, dos-dos kecil dua. Kalau dia koper biasa Rp50 ribu," sebutnya.
Meski hidup serba pas-pasan, Nursam tetap bersyukur bisa menghidupi keluarganya. Ia berharap suatu hari nanti kehidupannya bisa lebih baik.
Cerita Nursam menjadi potret nyata perjuangan para buruh panggul di pelabuhan yang mengandalkan tenaga dan kesabaran untuk bertahan hidup di tengah kota.
Meskipun berada dalam pusaran ketidakpastian penghasilan, mereka tetap berjuang demi sesuap nasi dan masa depan yang lebih baik. (Muhsin/Fajar)