Belajar dari Kepompong yang Menjadi Kupu-kupu, Metamorfosis Ramadan: dari yang Diremehkan Menjadi yang Dibanggakan

  • Bagikan
Oleh: Muliadi Saleh, Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Oleh : Muliadi Saleh, Direktur Eksekutif SPASIAL, Trainer Motivator

DI SUDUT sunyi sebuah ranting, tersembunyi sesuatu yang sering luput dari pandangan. Sebuah kepompong, diam, kaku, seolah tak bernyawa. Tak ada yang memperhatikannya, apalagi mengaguminya. Bahkan, mungkin ada yang menganggapnya menjijikkan, sama seperti ulat yang sebelumnya merayap di daun, rakus mengunyah dedaunan hijau, hanya untuk bertahan hidup.

Tak ada yang tahu bahwa di dalam kepompong itu, sebuah keajaiban tengah berlangsung. Perlahan-lahan, tubuh yang dulu hanya bisa merayap kini membentuk sesuatu yang baru. Tidak ada lagi jejak ulat yang terkesan lemah dan tak berdaya. Setiap selnya berubah, membentuk keindahan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun, perubahan ini tidak terjadi dalam semalam. Ia harus melewati kegelapan, kesendirian, dan ketidaktahuan akan nasibnya.

Begitulah hidup. Ada saatnya kita merasa seperti ulat—dihina, diremehkan, bahkan dianggap mengganggu. Ada saatnya kita terjebak dalam kepompong—terasing, tidak dipahami, bahkan meragukan diri sendiri. Tapi yang tidak kita sadari, justru dalam kesendirian itulah kita sedang ditempa. Kita belajar bertahan, belajar menerima, dan pada akhirnya, kita tumbuh.

Hingga akhirnya, tiba waktunya kepompong itu retak. Dari dalamnya, sesuatu yang baru muncul, mengembangkan sayap yang masih basah. Perlahan, sayap itu mengeras, membentuk pola indah yang tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Sang kupu-kupu kini siap mengepakkan sayapnya, terbang ke dunia dengan keanggunannya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan