FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Cendekiawan Nahdlatul Ulama, Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir, mengungkapkan kegelisahannya terhadap fenomena Tunjangan Hari Raya (THR) yang semakin menjadi tuntutan sosial.
Dalam unggahan di media sosial, ia menyoroti bagaimana budaya konsumtif berlebihan di bulan Ramadan telah menggeser makna ibadah yang seharusnya lebih fokus pada pengendalian diri.
“Ramadan datang membawa cahaya. Bulan yang mengajak hati menepi, menunduk, dan menahan diri," ujar Gus Nadir di X @na_dirs (24/3/2025).
"Tapi mengapa langkah kita justru berlari ke pasar, bukan ke sajadah? Mengapa sibuk menghitung diskon, bukan dosa?" tambahnya.
Ia juga menyoroti bagaimana pola konsumsi masyarakat selama Ramadan justru meningkat drastis dibanding bulan lainnya.
Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan esensi puasa yang mengajarkan kesederhanaan dan empati terhadap mereka yang kurang beruntung.
"Di mana letak menahan diri dan merasakan kelaparan serta penderitaan orang miskin, jika meja makan kita justru lebih penuh dibanding hari biasa?” lanjutnya.
Gus Nadir kemudian menyoroti fenomena THR yang belakangan ramai diperbincangkan, di mana permintaan THR tidak lagi hanya berlaku di lingkungan kerja formal, tetapi juga muncul dalam bentuk tekanan sosial.
"Maraknya permintaan THR oleh ormas, oknum pemda, oknum militer, maupun aparat tingkat RT/RW kepada perusahaan, pedagang, atau warga pendatang, adalah gejala sosial yang kompleks," kata dia.
Ia menjelaskan bahwa THR awalnya merupakan bentuk kepedulian agar masyarakat dapat menyambut hari kemenangan dengan layak.