FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump, mengumumkan kebijakan penangguhan penerapan tarif timbal balik terhadap sejumlah negara mitra dagang selama 90 hari.
Keputusan ini diambil guna membuka ruang negosiasi, terutama di tengah tekanan pasar keuangan global.
Namun, kebijakan ini tidak berlaku bagi China, yang justru dikenai tarif lebih tinggi.
Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa sebagian besar negara akan kembali dikenakan tarif universal sebesar 10 persen untuk sementara waktu.
Namun, khusus untuk China, pemerintah AS menaikkan tarif impor dari sebelumnya 104 persen menjadi 125 persen, sebagai tanggapan atas kebijakan balasan Beijing.
“Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan Tiongkok kepada pasar dunia, dengan ini saya menaikkan tarif yang dibebankan kepada Tiongkok oleh AS menjadi 125%, berlaku segera,” ujar Trump, dikutip Truth Social, Jumat (11/4/2025).
Sementara itu, Meksiko dan Kanada tetap dikenakan tarif sebesar 25 persen apabila belum memenuhi ketentuan dalam Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA).
Keputusan Trump ini berdampak signifikan terhadap pergerakan pasar keuangan. Setelah pengumuman penundaan tarif disampaikan, indeks saham utama Amerika melonjak tajam. Dow Jones naik hampir 3.000 poin, S&P 500 tercatat menguat sebesar 9,5 persen, dan Nasdaq melonjak hingga 12,2 persen.
Trump mengakui dinamika pasar turut menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan ini.
“Saya melihat tadi malam bahwa orang-orang menjadi sedikit mual,” ujarnya.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menjelaskan bahwa penangguhan tarif telah menjadi bagian dari strategi negosiasi jangka pendek yang dirancang untuk mendorong keterlibatan aktif dari negara-negara mitra.
Trump dijadwalkan terlibat langsung dalam diskusi selama masa jeda ini, termasuk dalam pertemuan bilateral dengan lebih dari 75 negara. Delegasi Vietnam menjadi salah satu yang pertama melakukan pembicaraan dengan perwakilan AS.
“Pesan yang ingin disampaikan kepada negara lain adalah, jangan membalas dan Anda akan diberi imbalan,” kata Bessent.
Langkah ini dinilai sebagai strategi menciptakan daya tawar maksimum, terutama dalam konteks perdagangan internasional yang semakin kompetitif.
Penundaan tarif ini disambut positif oleh sebagian negara karena memberi waktu untuk membangun dialog tanpa tekanan ekonomi tambahan.
Namun, beberapa negara seperti China memilih tetap bertahan pada posisi semula dan belum menunjukkan niat untuk melakukan konsesi.
Daniel Russel dari Asia Society Policy Institute menyatakan bahwa sikap zig-zag kebijakan tarif AS dapat menciptakan ketidakpastian baru.
“Negara-negara lain akan menyambut baik penangguhan pelaksanaan selama 90 hari, jika itu berlangsung tetapi guncangan dari pergerakan zig-zag yang konstan menciptakan lebih banyak ketidakpastian yang dibenci oleh bisnis dan pemerintah,” ujarnya.
Bagi negara-negara seperti Indonesia, kebijakan ini membuka peluang untuk meninjau ulang hubungan dagang dengan AS dan menyusun strategi negosiasi yang lebih menguntungkan, khususnya dalam sektor ekspor dan impor.
(Wahyuni/Fajar)