FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Ahli penyakit dalam dan onkologi, Prof. Zubairi Djoerban, mengingatkan pentingnya sikap bijak ketika seorang perempuan menemukan benjolan di payudara.
Melalui akun media sosial X resminya, ia menyampaikan langkah-langkah medis yang harus dilakukan dengan tenang dan terukur.
"Ketika seorang perempuan menemukan benjolan di payudara, langkah pertama yang paling bijak adalah menemui dokter. Jangan panik, tapi juga jangan diabaikan. Dokter menjadi titik awal perjalanan ini, memastikan setiap keputusan yang diambil berbasis medis," tulis Prof. Zubairi, dikutip X @ProfesorZubairi Jumat (9/5/2025).
Ia menjelaskan bahwa dokter akan memulai pemeriksaan fisik dengan meraba area payudara untuk menilai karakteristik benjolan tersebut apakah lunak atau keras, serta apakah dapat digerakkan atau menetap.
Jika ada indikasi mencurigakan, maka pasien akan dirujuk untuk menjalani pemeriksaan lanjutan berupa ultrasonografi (USG).
"USG membantu memberikan gambaran lebih jelas tentang struktur benjolan. Namun, jika hasilnya masih mencurigakan, langkah berikutnya adalah biopsi," lanjutnya.
Biopsi, menurut Prof. Zubairi, menjadi metode penting dalam menegakkan diagnosis. Salah satu metode yang umum digunakan adalah Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB), yakni pengambilan sampel jaringan dengan jarum halus.
"Prosedurnya relatif cepat, dan hasilnya biasanya tersedia dalam beberapa hari. Jika hasil biopsi menunjukkan bahwa benjolan tersebut jinak, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, jika hasilnya mengarah pada kanker, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut," jelasnya.
Langkah selanjutnya adalah memastikan apakah kanker telah menyebar ke organ tubuh lain. Pemeriksaan tambahan seperti USG hati, bone scan, atau rontgen dada dapat dilakukan untuk menilai penyebaran dan merancang rencana pengobatan yang komprehensif.
Prof. Zubairi juga menekankan bahwa pengobatan kanker payudara bukanlah proses yang dilakukan sendirian. Ia menyoroti pentingnya kerja tim medis multidisiplin yang terdiri dari berbagai spesialis.
"Penanganannya melibatkan tim multidisiplin. Mulai dari dokter bedah yang akan menangani operasi pengangkatan, ahli onkologi yang mengelola kemoterapi atau terapi hormonal, hingga dokter patologi anatomi yang menganalisis hasil biopsi," jelasnya lagi.
Bahkan dalam kasus tertentu, radioterapi juga dapat menjadi bagian dari rencana pengobatan. Tim ini akan bekerja secara sinergis untuk memberikan perawatan yang paling sesuai dengan kondisi pasien.
Lebih lanjut, Prof. Zubairi menyoroti pentingnya pemeriksaan genetik dalam kasus riwayat keluarga yang kuat terhadap kanker payudara atau ovarium.
"Jika ada tiga atau lebih anggota keluarga dengan riwayat kanker ini, dokter mungkin merekomendasikan pemeriksaan genetik," ujarnya.
Mutasi genetik seperti BRCA1 atau BRCA2 menjadi fokus dalam skrining ini. Jika mutasi ditemukan, maka deteksi dini dan pemantauan ketat menjadi langkah pencegahan yang penting.
Meski begitu, Prof. Zubairi mengingatkan masyarakat untuk tidak salah paham tentang sifat kanker.
"Kanker bukanlah penyakit menular. Kanker juga tidak otomatis diwariskan kecuali ada faktor genetik tertentu yang terdeteksi. Yang lebih penting adalah mengenali tanda-tanda awal, tidak menunda pemeriksaan, dan mengikuti saran medis dengan bijak," tegasnya.
Sebagai penutup, ia kembali mengajak publik untuk menyikapi temuan benjolan dengan sikap rasional namun waspada.
"Pada akhirnya, benjolan di payudara bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi juga bukan hal yang boleh diabaikan. Pemeriksaan dini, diagnosis yang tepat, dan penanganan yang terkoordinasi adalah kunci utama untuk hasil pengobatan terbaik."
Pernyataan tersebut menjadi pengingat penting bagi seluruh perempuan agar tidak menunda deteksi dini dan menjaga kewaspadaan terhadap potensi kanker payudara. (Wahyuni/Fajar)