FAJAR.CO.ID,JAKARTA -- Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga dan mantan Staf Ahli Menkominfo RI, Prof. Dr. Henri Subiakto memberi respon terkait penangkapan mahasiswi ITB terkait pembuatan meme.
Melalui cuitan di akun media sosial X pribadinya, Henri Subiakto penahanan yang dilakukan ini keliru.
“KASUS MAHASIWA ITB DITAHAN BRESKRIM ITU KELIRU,” tulisnya dikutip Minggu (11/5/2025).
“Baru saja saya diwawancara @RadioElshinta, ditanya kasus penahanan mahasiswi ITB oleh Bareskrim. Saya katakan, polisi kali ini Bareskrim salah dalam menerapkan UU ITE. Kalau hal begini terus berulang, maka publik dan orang2 yg tak paham akan mengira UU ITE mmg gunanya untuk membungkam kritik,” paparnya.
Henri Subiakto menyebut UU ITE sudah beberapa mengalami review di Mahkamah Kontitusi (MK) karena itu menurutnya penerapannya jelas salah.
“Ini jelas penerapan yg salah. Krn sdh UU ITE sdh berkali2 di judicial review di MK, direvisi terkait larangan fitnah, pencemaran nama baik atau penghinaan itu tdk bisa dilakukan penahanan oleh penegak hukum,” sebutnya.
“Karena maksimal sanksinya di bawah 5 tahun. Jadi kalau ada penahanan atas nama pasal penghinaan (27A) itu jelas salah fatal,” jelasnya.
Ia menjelaskan adapun pasal yang dikenakan ke Mahasiswi ITB yang disebut sebagai pelaku adalah Pasal 35 karena kabarnya penahanannya bisa sampai 12 tahun.
“Ini mhsw ITB yg bikin meme pak Jokowi dan pak Prabowo kok ditahan, berarti mrk dikenakan pasal lain yaitu pasal 35 yg sanksinya memang berat yaitu hingga 12 tahun, Tapi itu menujukkan penerapan yang keliru oleh Bareskrim dalam menggunakan pasal 35 UU ITE,” jelasnya.
“Pasal 35 itu merupakan bagian dari norma larangan perbuatan kejahatan thd komputer, atau sistem informasi (IT) yg di dalamnya terdapat informasi elektroniknya. Atau dikenal sebagai computer crime. Mengapa sistem informasi dilindungi UU agar integritas, otentisitas (keaslian), dan kerahasiaan informasi milik orang atau badan hukum itu terjaga. Ini adalah tuntutan perkembangan teknologi dan kehidupan digital,” tambahnya.
“Sebab kalau informasi elektronik, diakses, dibuka dan diubah atau dipalsukan oleh orang yg tdk berhak, akan merugikan pemiliknya. Maka UU melindunginya dg pasal 30, 32 hingga 35 UU ITE. Sanksi bagi pelakunya berlaku pidana yg berat hingga 12 tahun,” lanjutnya.
“Knp demikian? Bayangkan kalau informasi yg kita simpan di sistem IT, di komputer kita, dibuka orang, diubah atau dipalsukan, maka secara ekonomi, dan sosial kita akan rugi besar. Krn bisa saja informasi itu properti kita (berupa calon tulisan, calon lagu, atau rencana bisnis dll). Jaman digital mengharuskan negara melindungi properti berupa informasi elektronik yg ada dlm sistem informasi yg kita gunakan,” sambungnya.
Menurutnya kasus Mahasiswi ITB ini berbeda dengan apa yang dikenakan. Foto meme yang diunggahnya disebut bukan informasi elektronik yang dilindungi
Tapi kasus mahasiswa ITB itu berbeda. Informasi yg diubah olehnya bukan informasi milik seseorang atau milik badan hukum yg tersimpan dalam sistem. Bukan informasi yg kalau dibuka, diambil, diubah dan dipalsukan merugikan secara ekonomi, atau bisnis dan sosial bagi pemilik informasi yg menyimpannya seperti yang dimaksud dalam UU ITE pasal 32 dan 35.
“Foto atau video pak Jokowi dan pak Prabowo itu bukan informasi elektronik yg dilindungi integritas, keaslian dan kerahasiaannya seperti yg dimaksud dlm UU ITE pasal 32 dan 35. Foto dan video pak Jokowi dan pak Prabowo bkn informasi elektronik milik pribadi atau badan hukum yg disimpan dan dilindungi dlm sistem informasi yg mereka miliki. Foto atau video itu merupakan informasi terbuka ada dimana-mana bisa dicari secara terbuka. Pasal 32 dan 35 tidak berlaku untuk ini,” tuturnya.
“Foto video presiden Prabowo dan Jokowi sdh beredar di medsos shg untuk mengubah, dan merekayasa bisa ambil dari medsos atau sumber2 terbuka lainnya, tak perlu melawan hukum dengan menerobos apalagi merusak sistem informasi elektronik milik orang lain. Sebagaimana pemahaman yg dimaksud dlm larangan pasal aquo,” jelasnya.
“Prinsip dasar yg menjadikan unsur pidana pasal 32 dan 35 ini harus dipahami dan harus memenuhi. Jika tdk demikian ya tdk bisa pakai pasal tersebut secara sembarangan,” sebutnya.
Henri menyebut ada beberapa pasal yang dicampur untuk menjerat pelaku. Padahal menurutnya pembuatan meme sebagai salah satu bentuk kritik.
“Apalagi pasal larangan computer crime ini dicampur dengan pidana pelanggaran ilegal content yg jenis pidananya computer related crime. Kejahatan menggunakan komputer yaitu untuk menghina atau berisi melanggar kesusilaan, ini tambah melenceng lagi,” sebutnya.
“Sepertinya pasal2 tersebut digunakan dicampur asal bisa untuk menjerat pelaku. Padahal membuat meme satire seperti itu bagian dari kritik yg dibolehkan oleh UUD 45 pasal 28 F, dan tidak dilarang UU, krn bukan fitnah, pencemaran nama baik, bukan pula ujaran kebencian dan permusuhan berdasar Suku, agama, ras, etnis dan kelompok minoritas lain,” terangnya.
“Yg dilakukan mahasiswa adalah benar2 kritik berbentuk satire. Sepahit dan semenyebalkan apapun kritik itu, hal denikian tdk dilarang UU,” tutupnya.
(Erfyansyah/fajar)