FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Beberapa hari ini ramai dibahas di media sosial soal unggahan yang berisi kebijakan baru dari Kementrian Kesehatan.
Dalam unggahan itu melampirkan foto Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beserta keterangan yang mewajibkan semua penumpang pesawat wajib melakukan vaksin Tuberculosis (TBC).
"Semua penumpang yang akan naik pesawat agar sudah divaksin TBC dan menunjukkan surat vaksin, tujuannya untuk mencegah penyebaran lewat udara," isi dalam keterangan dikutip X Senin (26/5/2025).
Tidak berapa lama, unggahan tersebut mendapat respon dari Kemenkes. Pihaknya mengatakan unggahan tersebut adalah berita tidak benar alias hoax.
Meski begitu, unggahan ini sudah terlanjur dibahas dan mendapat tanggapan dari ahli kesehatan. Seperti dalam unggahan X dr Eva Sri Diana Chaniago yang juga merupakan pegiat media sosial.
Dalam unggahannya, dr Eva mengaku belum tahu soal seluk beluk vaksin yang dimaksud. Untuk itu, dia belum menerima atau menolak.
Namun, baginya vaksin tidak untuk dipaksakan. Apalagi menjadi sebuah syarat administratif dan juga saat ini status TBC bukanlah pandemi seperti halnya covid 19.
"Harapan pada pemerintah, mohon jangan ada pemaksaan..karena saat ini bukan pandemi. Biar rakyat memilih cara mereka sendiri untuk tetap sehat," ungkapnya.
Dalam unggahan yang sama, dr Eva Chaniago menjelaskan bertambahnya kasus TBC hingga cara penularannya dan pencegahannya.
Kuman TBC bisa menular melalui udara pada keadaan yang membuat penderitanya batuk. Kemudian cairan ludahnya yang terdapat kuman akan mengalami persebaran di udara yang kemudian bisa masuk ke tubuh yang sehat.
Penting untuk menerapkan protokol kesehatan bagi penderita TBC yakni selalu menggunakan masker di area publik. Selain itu menutup mulut saat batuk serta jangan membuang dahak sembarangan.
Menanggapi soal vaksi, dr Eva mengatakan meski sudah mendapat vaksin tetapi jika sumber utama tidak ditutup, seseorang masih bisa terkena TBC.
Dalam hal ini guna vaksin adalah sebagai pembentuk antibodi terhadap bakteri, tetapi bukan menjadi pencegah masuknya kuman ke saluran pernapasan.
"Jadi, Vaksin bukan untuk mencegah penularan penyakit. Vaksin juga bukan satu-satunya cara agar hidup tetap sehat," jelasnya.
Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (Paru) ini menyebut kasus TBC saat ini ga belum termasuk ke angka gawat darurat.
Sementara itu, melihat kenaikan angka penderita, dr Eva menjelaskan banyak faktor yang menjadi pemicunya. Salah satunya dipengaruhi kondisi covid 19.
Sebelum ditetapkan sebagai endemi, masa pandemi lalu banyak orang yang tidak mendapat pengobatan lanjutan karena ketakutan ke faskes akibat tingginya nagka covid 19 saat itu.
Ada pula penyebaran yang banyak terjadi di area publik dengan ruang tertutup dengan AC yang tidak disinari matahari yang membuat penyebaran kuman TBC semakin besar.
Permasalahan lain yang ditemui dr Eva adalah seringkali obat TBC langka meski harganya tidak tertalu mahal, sehingga ini juga menjadi penyumbang bertambahnya kasus. (Elva/Fajar).