Briptu MR Dipecat Usai Berbuat Terlarang, Polda NTT: Tidak Ada Toleransi

  • Bagikan
Ilustrasi. (int)

FAJAR.CO.ID, KUPANG -- Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan sikap tegas dengan memecat tidak hormat seorang oknum polisi yang terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap remaja perempuan.

Briptu MR, anggota Satuan Lalu Lintas Polresta Kupang Kota, harus menerima konsekuensi berat setelah Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) memutuskan pemberhentiannya dalam sidang yang digelar Rabu (11/6/2025) di Markas Polda NTT.

Sidang yang berlangsung selama empat jam tersebut berjalan secara transparan dan melibatkan berbagai unsur terkait, termasuk Subbidwabprof, penuntut, serta pendamping.

Hasil pemeriksaan membuktikan Briptu MR telah melakukan tindakan asusila terhadap seorang remaja perempuan berinisial PGS (17 tahun) saat sedang melaksanakan tugas operasi penindakan lalu lintas.

Perbuatan ini dinilai sebagai pelanggaran berat yang melanggar etika profesi, hukum positif, serta norma agama dan masyarakat.

Dalam putusan resmi bernomor PUT KKEP/21/VI/2025, komisi menjatuhkan dua jenis sanksi sekaligus. Pertama, sanksi etika berupa pernyataan bahwa perbuatan pelaku tergolong tindakan tercela.

Kedua, sanksi administratif berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari dinas kepolisian. Keputusan ini menunjukkan konsistensi Polri dalam membersihkan barisannya dari oknum-oknum yang tidak bermoral.

Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Henry Novika Chandra, menegaskan bahwa institusi kepolisian tidak akan memberikan toleransi terhadap perilaku yang mencoreng martabat seragam biru.

"Tidak ada toleransi bagi anggota yang mencoreng nama baik institusi dengan perbuatan tidak bermoral, apalagi menyangkut pelecehan seksual terhadap anak," kata Henry dalam keterangannya.

Proses hukum dalam kasus ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri serta Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri.

Kombes Henry menekankan bahwa pelanggaran yang dilakukan bersifat sadar dan sengaja, tanpa adanya unsur paksaan, sehingga pantas mendapatkan sanksi maksimal.

"Perbuatan ini bukan sekadar pelanggaran individu, melainkan telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi kami," tambahnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa tidak ditemukan faktor yang meringankan dalam kasus ini. Justru kesadaran penuh pelaku dalam melakukan tindakan tercela menjadi pertimbangan utama pemberian sanksi berat.

"Polri konsisten dalam penegakan hukum, baik kepada masyarakat maupun terhadap anggota sendiri. Prinsip equality before the law benar-benar kami tegakkan," tegas Henry.

Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi seluruh jajaran Polri untuk senantiasa menjaga integritas dan moralitas.

"Seragam Polri adalah simbol kehormatan yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Setiap anggota harus menyadari bahwa mereka memikul amanah besar dari masyarakat," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan