Pengamat: Penolakan Warga terhadap Tambang Emas di Sinjai sebagai Bentuk Kepedulian, Bukan Anti Pembangunan

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Wacana penambangan emas di Kecamatan Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, Sinjai Barat dan Bulupoddo Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan menuai pro kontra. Tak sedikit warga yang menolak.

Akademisi UNM, Ferdhiyadi menyatakan, penolakan terhadap tambang emas di Sinjai yang terus disuarakan masyarakat dan pemuda bukan sekadar bentuk ketidaksetujuan terhadap proyek pembangunan.

Menurutnya, dalam perspektif sosiologi lingkungan, penolakan ini mencerminkan bentuk rasionalitas sosial yang menolak ancaman atas ruang hidup dan relasi ekologis komunitas.

Dosen Sosiologi UNM ini menyatakan, pengalaman ekologis masyarakat Sinjai telah lama membentuk relasi kuat antara ruang dan kehidupan.

“Penolakan tambang emas tahun 2012 oleh Gerakan Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute (Gertak) adalah salah satu contohnya—penolakan terhadap eksplorasi dan penerbitan IUP tambang emas dan timah hitam. Kini, ingatan kolektif itu kembali hidup, diperkuat oleh generasi muda yang lebih sadar akan risiko ekologis,” kata Ferdi sapaannya dalam keterangannya, Sabtu, (21/6/2025).

Lebih lanjut kata dia, dalam pandangan David Harvey (2003), proyek ekstraktif seperti tambang emas adalah bagian dari proses accumulation by dispossession, yaitu bentuk akumulasi kapital melalui pengambilalihan sumber daya masyarakat secara sistematis.

Harvey menjelaskan bahwa dalam neoliberalisme, akumulasi terjadi dengan merampas tanah adat, sumber air, dan ruang hidup komunitas lokal, atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

“Dalam konteks ini, pertambangan emas justru berpotensi mengubah warga dari subjek ekologis menjadi korban struktural,” tuturnya.

Sementara itu, Ulrich Beck (1986) dalam Risk Society menggarisbawahi bahwa masyarakat modern tidak hanya menghasilkan manfaat, tetapi juga memproduksi risiko ekologis buatan manusia.

Risiko tambang bukan hanya polusi atau longsor, melainkan juga konflik sosial, krisis air, dan hilangnya rasa aman warga atas tanah dan masa depannya. Beck menegaskan bahwa risiko-risiko ini bersifat sistemik dan tak terdistribusi secara adil.

Tambang di wilayah seperti Sinjai, yang pernah mengalami banjir bandang mematikan tahun 2006, jelas akan memperbesar kerentanan ekologis struktural.

Dalam konteks ini, masyarakat yang menolak tambang bukan menghambat pembangunan, tetapi justru menegaskan pengetahuan ekologis yang sah—berbasis pengalaman, sejarah bencana, dan pemeliharaan relasi ruang secara kolektif.

Pembangunan yang adil tidak cukup hanya bersandar pada instrumen legal atau analisis teknokratis.

“Penambangan harus melibatkan masyarakat sebagai subjek pengetahuan—bukan objek proyek. Maka, penolakan warga harus dibaca sebagai bentuk kepedulian terhadap keberlanjutan hidup, bukan sebagai sikap anti terhadap pembangunan,” tandasnya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan