Nilai-nilai ini membentuk assiakatauang, yaitu peradaban Bugis yang bertumpu pada relasi yang adil dan saling menghormati. Tanggung jawab dan hak berjalan beriringan dalam harmoni sosial. Jika ada yang direndahkan, maka seluruh struktur masyarakat tercemar.
Lamaddaremmeng tidak melawan adat, tetapi menafsirkan ulang makna terdalamnya. Ia tidak menghapus nilai leluhur, tetapi memurnikannya kembali pada akarnya: kemanusiaan. Maka, tindakannya membebaskan para budak adalah perwujudan nilai tertinggi budaya Bugis itu sendiri.
Ia menjadikan Sipakatau dan Siri’—harga diri—sebagai pondasi kekuasaan, bukan alat legitimasi penindasan. Dalam filosofi Bugis, Siri’ menjadikan manusia bukan sekadar makhluk hidup, tetapi makhluk yang bermartabat dan tidak boleh dihina.
Dalam naskah-naskah Lontara, disebut bahwa manusia yang kehilangan harga diri disamakan dengan binatang. Lamaddaremmeng memahami hal ini dengan mendalam. Karena itulah ia menolak melihat rakyatnya diperdagangkan, direndahkan, dan dilucuti dari hak hidup yang bermartabat. Atas dasar kesadaran itu, ia pun bertindak.
Tindakannya juga mencerminkan paseng, yaitu wasiat luhur dari para leluhur Bugis yang menuntun manusia untuk menjaga keadilan, menegakkan harga diri, dan tidak menindas sesama. Ia membuktikan bahwa adat tidak boleh dijadikan tameng untuk melanggengkan ketidakadilan.
Tindakan Lamaddaremmeng menunjukkan bahwa pemimpin sejati tidak hanya menjaga warisan masa lalu, tetapi juga berani membuka jalan bagi masa depan. Hari ini, perbudakan mungkin sudah tidak ada seperti dahulu.
Warisan Lamaddaremmeng adalah keteladanan dalam menempatkan kemanusiaan di atas kekuasaan, keberanian melawan ketidakadilan yang dilegalkan oleh adat, serta keyakinan bahwa setiap manusia layak diperlakukan secara setara dan bermartabat. Budaya, menurutnya, bukan untuk menindas, melainkan untuk memanusiakan. (*)