Raden menegaskan bahwa krisis global harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk melakukan reformasi struktural secara mendalam.
Ia menyoroti negara-negara seperti Vietnam, Korea Selatan, dan Jepang yang berhasil bangkit karena kesinambungan kebijakan, adopsi teknologi, dan keterbukaan terhadap pasar global.
Menurutnya, Indonesia masih terlalu fokus pada ekspor komoditas primer. Ia menyoroti rendahnya nilai tambah industri dalam negeri serta kelemahan dalam produktivitas tenaga kerja. Raden juga mengkritik rendahnya efisiensi kalender kerja nasional yang diwarnai oleh banyak hari libur.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, ia menyerukan agar Indonesia bersiap menghadapi era baru dengan investasi pada kecerdasan buatan, bioteknologi, dan energi hijau.
Keanggotaan penuh di OECD pun dianggapnya sebagai strategi memperkuat tata kelola dan daya saing Indonesia secara global. “Kita tidak ingin masuk ke perang murah tenaga kerja. Kita ingin naik kelas” tegasnya.
Diskusi ini ditutup oleh Jibriel Avessina, Wakil Dekan FEB Universitas Ibn Khaldun, yang menekankan pentingnya kolaborasi lintas institusi akademik dan riset untuk memperkuat ketahanan kawasan.
Ia mengapresiasi keterlibatan lintas negara dalam forum ini sebagai langkah awal membangun sinergi regional menghadapi tantangan disrupsi global.
"Diskusi ini bukan hanya refleksi, tapi menjadi fondasi strategi masa depan ekonomi Asia Tenggara yang tangguh, mandiri, dan berkelanjutan” tegas Jibriel.