"Saya tidak mempersoalkan perkawinan, siapa yang kawin, dan pesta rakyat ini. Saya hanya punya satu pertanyaan: Mengapa hanya demi makan siang gratis, harus ada tiga orang meninggal?" Tanya Made.
"Saya berusaha keras memahaminya. Apa yang sedang terjadi di negeri ini? Apakah orang-orang ini datang karena memang butuh makan? Ataukah mereka datang ke pendopo kabupaten karena ingin bergembira (mangayubagya) karena pemimpinnya memulai hidup baru dengan menikah?" Sambungnya.
Jika yang terakhir yang terjadi, lanjutnya, tentu orang tidak perlu berdesak-desakan kan? Sama seperti kita jagong manten, kita antre makan dengan tertib dengan keyakinan semua orang akan dapat bagian.
Mungkin ada yang berargumen bahwa ini adalah kesalahan manajemen pembagian makanan. Ya mungkin. Tapi itu tidak menjawab pertanyaan saya:
Mengapa pertama-tama orang datang ke sana? Jelas karena ada undangan. Tapi undangan seperti ini kan bisa diabaikan kalau orang punya pekerjaan atau urusan lain yang diselesaikan. Urusan makan gratis biasanya bukan prioritas kalau orang punya pekerjaan.
Tentu ada yang tidak biasa dalam kondisi masyarakat kita sekarang ini. Orang berebut makanan sehingga 3 meninggal dan puluhan luka-luka? Orang meninggal karena berdesak-desakan menonton konser atau pertandingan olah raga, itu masih bisa saya pahami. "Karena antre makan siang?, " sesalnya.
"Anda boleh menyepelekan ini. Saya tidak. Untuk saya, ini adalah pertanda sesuatu sedang terjadi di negeri ini. Sesuatu yang serius. Para politisi atau elite itu kasih uang duka dan kemudian pasang muka sedih di media. Tapi ini tidak menyelesaikan persoalan. Karena masalahnya ada di dasar, di pondasi kekuasaan mereka," demikian ulasan Made Supriatma. (sam/fajar)