Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin
(Pemerhati Ekonomi, Alumni HMI)
Pernahkah kita benar-benar merenungkan makna di balik "Pahlawan Devisa"? Gelar ini sering diucapkan dengan bangga, seolah-olah memberikan penghargaan tertinggi kepada para Pekerja Migran Indonesia (PMI) atas kontribusi besar mereka. Namun, di balik kebanggaan itu, tersembunyi cerita memilukan yang seringkali tak terdengar. Ini adalah kisah perjuangan berat, di mana para pahlawan devisa kita kadang berjuang sendirian di negeri orang.
Menurut pandangan saya saat ini, di bawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, adalah momen penting bagi Pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk introspeksi. Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk melihat kenyataan dan menemukan jalan keluar yang lebih baik bagi saudara-saudara kita yang bekerja di luar negeri.
Beban Berat di Balik Gelar Pahlawan Devisa
Konstitusi kita, melalui Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, telah menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan dan perlakuan yang adil. Untuk memperkuatnya, lahirlah UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Undang-Undang ini hadir sebagai janji perlindungan bagi mereka yang bekerja di luar negeri. Namun, sering kali, janji ini terasa masih jauh dari kata terwujud.
Saat melihat data, kita menyadari betapa besarnya tantangan yang dihadapi. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) 2023 memperkirakan bahwa setiap tahunnya, ada ribuan PMI berangkat secara non-prosedural. Secara kumulatif, angkanya diperkirakan sudah mencapai 5,4 juta orang.
Angka-angka ini bukan hanya statistik. Mereka mewakili ribuan orang yang rentan, yang mungkin tidak memahami sepenuhnya risiko yang mereka hadapi. Mereka adalah anak-anak bangsa yang berangkat dengan harapan, namun sayangnya, sering kali berjuang tanpa jaring pengaman yang memadai karena sifat ilegal dari keberangkatan mereka.
Lebih dari Devisa, Ada Cerita di Baliknya. Tahun 2023, Bank Indonesia dan BP2MI menyampaikan devisa dari PMI mencapai USD 14,22 miliar, terbesar kedua setelah minyak dan gas. Angka ini sungguh luar biasa. Namun, di balik setiap dolar yang dikirimkan, ada keringat, ada air mata, dan ada kisah pengorbanan yang tak ternilai.
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pekerja Migran (KOPPMI) melaporkan bahwa sekitar 20% PMI menghadapi masalah penahanan gaji atau eksploitasi finansial, dengan kerugian rata-rata USD 500 per kasus. Sementara itu, Migrant CARE dalam laporannya 2022 mencatat kerugian akibat penipuan untuk PMI non-prosedural bisa mencapai Rp 20 juta hingga Rp 40 juta per orang.
Kisah-kisah ini seharusnya menyentuh hati kita, mengingatkan bahwa mereka bukan hanya penyumbang devisa, melainkan individu berharga yang membutuhkan perlindungan penuh dari Pemerintah Indonesia.
Ada pula kisah paling memilukan, ketika seorang PMI pulang dalam keadaan tak bernyawa. Data konsuler dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menunjukkan, rata-rata lebih dari seribu kasus kematian PMI di luar negeri terjadi setiap tahunnya. Data ini, yang konsisten dengan laporan-laporan dari lembaga lain, harus menjadi duka kita bersama. Di balik setiap kasus, ada keluarga yang kehilangan, anak-anak yang menjadi yatim, dan orang tua yang berduka.
Laporan Komnas Perempuan 2021 yang menyoroti temuan mereka dari kasus-kasus yang dilaporkan, menyebutkan bahwa sekitar 78% kasus kematian PMI perempuan di Timur Tengah dan daerah lainnya terkait dengan kekerasan fisik atau psikologis. Ini adalah seruan mendesak agar setiap nyawa PMI dilindungi. Pemerintah harus berupaya keras untuk mencari tahu apa yang terjadi dan memastikan keadilan bagi mereka yang telah tiada.
Tugas melindungi PMI adalah tugas yang besar dan kompleks, melibatkan banyak pihak. Institusi seperti Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/ BP2MI harus bekerja lebih keras dalam menghadapi tantangan ini.
Kemenlu, Antara Diplomasi dan Kenyataan Lapangan
Sebagai garda terdepan perlindungan Warga Negara Indonesia di luar negeri, Kemenlu memiliki peran penting sesuai amanat Pasal 42 UU PPMI. Namun, sering kali ada jurang antara amanat hukum dan realitas di lapangan. Peran diplomasi kita cenderung lebih fokus pada hubungan bilateral dan kepentingan ekonomi, bukan pada perlindungan hak-hak WNI. Migrant CARE 2022 menyebutkan bahwa hanya kurang dari 5% pengaduan kasus di perwakilan diplomatik di Timur Tengah dan daerah lain yang dapat dituntaskan.
Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan evaluasi kinerja para diplomat terkait penanganan kasus PMI. Para diplomat kita sering kali tidak memiliki sumber daya, pelatihan, atau bahkan kemauan yang memadai untuk menangani kasus-kasus kekerasan dan eksploitasi, membuat pengaduan PMI dianggap urusan kecil yang kurang diprioritaskan.
BP2MI, Hambatan yang Belum Terurai
Sebagai garda terdepan, BP2MI memiliki tugas dan tanggung jawab besar sesuai Pasal 46 dan 48 UU PPMI. Namun, data pelayanan pengaduan BP2MI 2023 mencatat lebih dari 2.000 pengaduan kasus kekerasan tidak terselesaikan. Selain itu, temuan Pusat Studi Migrasi Indonesia (PSMI) 2023 menyoroti lamanya proses aduan yang bisa memakan waktu 1-2 tahun, menunjukkan birokrasi BP2MI yang masih lamban dan tidak efisien. Katanya menjadi garda terdepan, tapi BP2MI sering kali terperangkap dalam tumpukan berkas.
Kita memiliki lebih dari 500 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang terdaftar. Namun, kurang dari 1% di antaranya yang izinnya dicabut karena pelanggaran berat dalam lima tahun terakhir. Pengawasan yang lebih kuat dan tegas, sesuai dengan Pasal 259 UU PPMI tentang pidana bagi yang menempatkan PMI secara ilegal, adalah kunci untuk mencegah eksploitasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas pengawasan BP2MI. Apakah ada permainan di balik layar, ataukah sistem pengawasannya yang tumpul dan tidak memiliki taring?
Anggaran yang Tidak Memadai, Masalah Klasik
Masalah mendasar lainnya adalah anggaran BP2MI yang hanya kurang dari 0,5% dari total devisa PMI. Angka ini menunjukkan bahwa Pemerintah belum sepenuhnya serius mengalokasikan sumber daya yang proporsional untuk perlindungan PMI. Bagaimana mungkin sebuah Kementerian atau Badan ini dengan tugas sebesar itu bisa bekerja optimal dengan anggaran yang begitu minim? Ini adalah refleksi kegagalan sistem dari Pemerintah yang seharusnya lebih melindungi PMI.
Menuju Perlindungan yang Lebih Kuat
Kita tidak bisa hanya memperbaiki sedikit demi sedikit. Kita perlu berpikir besar dan bertindak berani. Berikut ini beberapa langkah solusi yang dapat dipertimbangkan untuk membangun sistem perlindungan yang benar-benar kokoh:
- Hentikan secara bertahap pengiriman PMI sektor informal. Menurut laporan ILO 2023, menyumbang lebih dari 70% kasus kekerasan, pelecehan, dan penahanan gaji. Penghentian ini harus dilakukan secara terencana dengan menciptakan mekanisme transisi yang masif, seperti program pelatihan bersubsidi untuk mengubah keterampilan PMI ke sektor formal yang memiliki perlindungan hukum lebih kuat.
- Nasionalisasi seluruh aset dan operasional P3MI swasta. Dengan lebih dari 500 P3MI swasta yang beroperasi dengan berbagai skandal, nasionalisasi adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan motif keuntungan yang menjadi akar dari eksploitasi, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Mekanisme ini dapat dilakukan dengan menyerahkan ke BUMN yang berfokus pada penempatan PMI, diikuti dengan tata kelola yang efisien, transparan, dan diawasi oleh audit independen.
- Bentuk unit investigasi gabungan yang independen dari Kemenlu dan BP2MI, dengan wewenang penuh untuk menuntut oknum pejabat pemerintah, P3MI, dan sindikat yang terlibat. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2022 melaporkan bahwa 95% kasus pidana terkait PMI tidak pernah diselesaikan tuntas, menunjukkan perlunya lembaga yang berwenang dan independen.
- Kemenlu harus bekerja sama dengan Interpol untuk mengeluarkan red notice bagi majikan yang terbukti melakukan kejahatan berat. Crisis Centre Migrant Worker memperkirakan ada setidaknya 500 kasus majikan kejam setiap tahun yang seharusnya bisa dikenakan red notice. Untuk membuatnya efektif, Indonesia harus mengadvokasi dan meratifikasi perjanjian bilateral dan multilateral yang mencakup mekanisme ekstradisi.
- Alokasikan minimal 20% dari total devisa yang disumbangkan PMI setiap tahun untuk dana perlindungan, advokasi, dan pelatihan. Dengan devisa tahunan mencapai USD 14,22 miliar, ini berarti setidaknya USD 2,84 miliar harus dialokasikan. Dana ini harus dikelola oleh Badan Dana Perlindungan PMI yang independen dan diawasi ketat.
- Terapkan doktrin diplomasi baru yang memprioritaskan HAM dan perlindungan warga negara di atas kepentingan ekonomi, sesuai dengan Pasal 43 UU PPMI. Tuntut secara terbuka dan tegas negara-negara yang tidak menghormati hak-hak PMI.
- Setiap kematian PMI di luar negeri harus diaudit secara forensik oleh tim independen. Pusat Kajian Hukum Migrasi 2022 menunjukkan bahwa 65% kasus kematian PMI tidak memiliki laporan autopsi lengkap. Ini sejalan dengan Pasal 42 UU PPMI yang mengamanatkan perlindungan hak-hak PMI, termasuk hak atas nyawa.
- Berikan pelatihan dan pendampingan hukum serta psikologis bagi keluarga PMI di tanah air. Jaringan Buruh Migran 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 80% keluarga PMI tidak memahami hak-hak dasar maupun prosedur pengaduan yang benar.
- Kembangkan sistem digital terintegrasi yang melacak setiap PMI dari awal hingga akhir masa kerjanya, menggunakan teknologi biometrik dan GPS, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 50 dan 71 UU PPMI.
- Berikan sanksi ekonomi atau hentikan hubungan diplomatik dengan negara-negara yang terbukti secara sistematis melakukan pelanggaran terhadap hak-hak PMI. Koalisi Buruh Migran mencatat bahwa dalam kurun waktu 2020-2023, tidak ada sanksi diplomatik atau ekonomi yang diberikan kepada negara pelanggar.
- Berikan wewenang kepada BP2MI atau lembaga baru untuk mengajukan gugatan hukum kolektif terhadap majikan dan agensi asing yang melanggar hak-hak PMI, dengan biaya ditanggung negara. LBH Jakarta 2021 menemukan bahwa biaya litigasi adalah hambatan utama bagi korban.
- Bentuk Dewan Independen yang terdiri dari akademisi, aktivis HAM, dan mantan PMI untuk mengawasi kinerja Kemenlu, BP2MI, serta Badan Dana Perlindungan PMI. Ombudsman 2022 mencatat bahwa 90% aduan terkait pelayanan publik di BP2MI tidak ditindaklanjuti dengan serius. Dewan ini akan memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Sebuah Janji untuk Perlindungan Penuh
Pekerja migran kita bukanlah hanya angka atau sumber devisa. Mereka adalah anak-anak bangsa yang berani, yang meninggalkan keluarga dan tanah air demi masa depan yang lebih baik. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari kita.
Di bawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, sudah saatnya Pemerintah kita berhenti hanya memberi gelar pahlawan devisa dan mulai menjadi Pelindung Sejati. Ini adalah pilihan mendasar bagi Indonesia. Apakah kita akan terus membiarkan mereka berjuang sendirian, atau kita akan berdiri tegak bersama mereka, melindungi setiap hak dan setiap nyawa dengan sepenuh hati?
Sebagai bangsa yang besar, kita harus memastikan bahwa setiap WNI di mana pun mereka berada, dapat merasakan perlindungan dan kasih sayang dari tanah air kita. Hal ini sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. (*)