Sulapa Eppa, Warisan Budaya Bugis dalam Kepemimpinan Nasional Jenderal M Jusuf dan BJ Habibie

  • Bagikan
Jenderal Jusuf dan BJ Habibie. (kolase foto)

Oleh: Desy Silviana
(Pustakawan)

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, nilai-nilai lokal kerap kali menjadi pondasi kuat yang menopang kepribadian dan kepemimpinan tokoh-tokoh besar. Salah satu sistem nilai luhur yang berasal dari tanah Sulawesi Selatan adalah “Sulapa Eppa” empat sifat utama yang membentuk karakter manusia Bugis sejati: kejujuran (Malempu), kecerdasan (Macca), keteguhan pendirian (Magetteng), dan keberanian (Warani).

Dua tokoh nasional Indonesia, Jenderal TNI/AD Muhammad Jusuf dan Presiden ketiga Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. H. Baharuddin Jusuf Habibie, merupakan cerminan nyata dari nilai-nilai Sulapa Eppa yang terimplementasi dalam kepemimpinan dan pengabdian mereka.

Muhammad Jusuf lahir di Kajuara, Bone, Sulawesi Selatan, pada 23 Juni 1928. Ia dikenal sebagai sosok jenderal yang jujur, tegas, dan dekat dengan rakyat. Dalam perjalanan karier militernya, ia pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian, Menteri Pertahanan dan Keamanan, serta Panglima ABRI.

Ia adalah manusia Bugis yang tidak segan mengambil keputusan strategis dengan penuh tanggung jawab, bahkan jika keputusan itu berisiko terhadap jabatannya sendiri. Jusuf adalah salah satu tokoh kunci di balik sejarah lahirnya Orde Baru lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang hingga kini naskah aslinya masih menjadi misteri.

Ia tetap setia menyimpan rahasia negara, mencerminkan integritas dan keberanian yang jarang ditemukan dalam dunia politik modern.

Sosoknya sangat dihormati karena tidak pernah membeda-bedakan prajurit atau rakyat, dan senantiasa hadir langsung di tengah konflik untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.

Keberaniannya tidak hanya terwujud dalam strategi militer, tapi juga dalam tindakan nyata membangun keharmonisan antara ABRI dan rakyat, seperti dibuktikan dengan berdirinya Gedung Manunggal ABRI-Rakyat dan Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar yang kemudian diberi nama Masjid H. Muhammad Jusuf Al-Markaz Al-Islami.

Kejujurannya sebagai prajurit dan ketegasannya sebagai pemimpin membuatnya dikenang sebagai sosok pemimpin sejati dari timur Indonesia.

Sementara itu, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie yang lahir di Parepare pada 25 Juni 1936, adalah putra Bugis yang mengangkat derajat bangsa Indonesia di mata dunia melalui kecerdasan luar biasanya. Dikenal sebagai teknokrat, ilmuwan, dan intelektual muslim, Habibie mengukir prestasi di Jerman dalam bidang teknologi dirgantara.

Dia bahkan berhasil mengungguli bangsa Yahudi dalam peringkat akademik global berkat kedisiplinannya dalam belajar, spiritualitasnya yang mendalam, dan kecintaannya pada ilmu pengetahuan. Pengakuannya bahwa kecerdasan bangsa Yahudi diperoleh dari kebiasaan membaca dan mengamalkan Al-Qur’an menginspirasi Habibie untuk melakukan hal yang sama, sebuah pendekatan yang menyatukan ilmu dan iman, intelektualitas dan spiritualitas.

Kecerdasannya membawanya pulang ke tanah air setelah dijemput langsung oleh Jenderal Muhammad Jusuf atas permintaan Presiden Soeharto. Habibie kemudian diangkat menjadi Menteri Riset dan Teknologi selama hampir dua dekade, menginisiasi lahirnya industri penerbangan nasional melalui IPTN (dulu PT. Nurtanio).

Ketika krisis moneter dan politik melanda Indonesia pada 1997–1998, Habibie didaulat menjadi Wakil Presiden dan kemudian menggantikan Soeharto sebagai Presiden ketiga RI pada masa transisi penuh gejolak. Keputusan visionernya untuk memberikan kesempatan jajak pendapat bagi rakyat Timor Timur merupakan langkah berani dan berisiko tinggi, namun ia memilih mendengarkan suara rakyat, meskipun harus menanggung konsekuensi politik berupa penolakan laporan pertanggungjawaban oleh MPR.

Habibie adalah potret sejati dari manusia Bugis yang cerdas dan penuh keteguhan. Ia menjalankan kekuasaan tidak dengan ambisi, melainkan dengan integritas dan semangat pengabdian. Saat kepemimpinannya dikritik, ia menerima dengan lapang dada dan tidak mencalonkan diri kembali.

Justru dalam sikap tawadhu itulah, Habibie menunjukkan kualitas kepemimpinan yang luhur, menjadikannya dikenang sebagai bapak teknologi, bapak demokrasi, dan bapak perdamaian.

Kedua tokoh besar ini menjadi simbol keunggulan nilai-nilai Bugis dalam praktik kepemimpinan nasional. Mereka tidak hanya mewariskan kebijakan, institusi, atau sejarah, tetapi juga mewariskan karakter. Karakter yang dibentuk dari akar budaya Sulapa Eppa, yang hari ini semakin relevan di tengah krisis keteladanan dan degradasi nilai di ruang publik.

Baik Jenderal Muhammad Jusuf maupun Presiden B.J. Habibie telah membuktikan bahwa budaya lokal bukanlah penghambat kemajuan, melainkan fondasi kokoh bagi masa depan bangsa.

Dalam budaya Bugis, dikenal pula ungkapan luhur “Resopa temmangingi naletei pammase dewata” yang berarti "Usaha yang sungguh-sungguh akan mengundang rahmat Tuhan." Semangat inilah yang menyatu dalam kepribadian mereka berdua. Kejujuran yang mereka pegang, kecerdasan yang mereka kembangkan, ketegasan yang mereka pertahankan, dan keberanian yang mereka tunjukkan, semuanya lahir dari keyakinan bahwa jabatan bukanlah tempat menumpuk kekuasaan, melainkan sarana pengabdian.

Maka, ketika kita mengenang sosok Jenderal Muhammad Jusuf dan B.J. Habibie, sejatinya kita sedang mengingat kembali jati diri bangsa ini yang telah diwariskan lewat budaya Bugis. Sebuah warisan yang bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dihidupkan kembali di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan