Oleh Mohd. Sabri AR
FAJAR.CO.ID-- Jagat "pemikiran Islam" di Indonesia tiba-tiba gaduh, menyusul simpulan disertasi doktoral Abdul Azis, yang mengintrodusir perspektif pemikir liberal asal Suriah M. Syahrur: bahwa _milk yamin_ (pergundikan budak) atau dalam teks Al-Quran _(malakat aymanakum)_ adalah "pintu masuk" yang memungkinkan kontak seksual di luar ikatan pernikahan _(non marital)_, halal.
Metode _istinbath_ hukum yang ditawarkan Syahrur adalah pendekatan "kontekstual" terhadap teks.
Sementara, jika memperhatikan teks-teks yang diungkapkan Syahrur, (dan juga penulis "disertasi" Abdul Azis) sejatinya, berambisi mengaktualkan kembali sejumlah "tradisi" Arab pra-Islam, seperti praktik "pergundikan budak" dan "potong tangan", yang sesungguhnya, Al-Qur'an hadir justru mengeritik keras praktik-praktik tradiri tersebut.
Sejatinya, prinsip intrinsik tradisi hukum Islam yang diinspirasi Al-Quran misalnya tentang "hukum" minuman keras dan "poligami" mengalami apa yang disebut _al-tadrij fi al-tasyri'_, yakni penetapan hukum yang bergerak secara gradual kepada arah yang lebih baik dan sempurna.
Terkait dengan _milk al-yamin_ sebagai praktik kontak seksual _non marital_ pra-Islam yang diintrodusir kembali Al-Quran, secara _al-tadrij fi al-tasyri'_ praktik tersebut akan sirna menyusul rubuhhya realitas "perbudakan" di abad ultra-modern.
Karena itu, ketika Syahrur ingin "merasionalisasi" teks _milk al-yamin_ sebagai justifikasi halal terhadap kontak seksual _non marital_ pada konteks modern, ia kehilangan "pijakan" perihal "budak", sehingga yang dia _blow up_ kemudian adalah "kepemilikan" _(milk)_ dan bukannya "budak" _(yamin)_.
Meja Belajar Habibie Saat SD Masih Utuh di Rumahnya Parepare
Artis Lucinta Luna Murka Diremas Bokongnya di Tempat Karaoke
Ilham Akbar Habibie Bertekad Lanjutkan Cita-cita BJ Habibie
Firli Bahuri Bakal Andalkan Penyitaan Barang Hasil Korupsi
Iis Dahlia Kenang Hal yang Tak Terlupakan dari B.J.Habibie
Dengan begitu, ketika Syahrur bermain "akrobat" perihal _kontak seksual yang dibolehlan di luar nikah_ tapi musti _via_ "pergundikan budak", gagasannya pun macet, karena praktik dan konsepsi "perbudakan" _per se_ telah sirna dalam peradaban manusia kontemporer. Di titik ini, Syahrur lalu melakukan komodifikasi "kebolehan kontak seksual di luar pernikahan" , namun ia telah "kehilangan subyek" budak, sebagai alas aktualnya, sehingga ia mengubahnya dengan argumen sejauh "suka sama suka" di antara pelaku kontak seksual, tidak demonstratif di muka publik, dan tidak menorobos 'keharaman permanen' sebagai yang digariskan Al-Quran.
Di sinilah anomali ontologis dan juga epistemologis telah mengerkah pikiran dan metodologi Syahrur karena merujuk ke teks suci Al-Quran, _malakat aymanakum_ yang sejatinya telah kehilangan 'konteksnya' di masa modern ini.
Syahrur, juga metodologi hukum Islam yang diajukannya, sebab itu, tidak saja gagal "mengurai kebuntuan" rasionalisasi kemungkinan (istilah pejoratif Syahrur dan Abdul Azis sang penulis disertasi) kehalalan kontak seksual "non marital" , tapi sekaligus ia terjerumus pada apa yang diandaikan _philosophy of science_ sebagai epistemologi dan aksiologi "yang mengelak".
(*)