Oleh: Fitrawan Umar
Dosen Arsitektur Unismuh Makassar
Salah satu yang menarik dari latar belakang program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, sebagaimana Buku Panduan Kemendikbud RI 2020, adalah pernyataan, “Link and match tidak saja dengan dunia industri dan dunia kerja tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat”.
Kalau tujuan program Kampus Merdeka semata-mata untuk kebutuhan industri dan dunia kerja, maka jelas masalah akan timbul, yakni perguruan tinggi dicurigai hanya akan dituntut menjadi pabrik tenaga kerja. Namun, di sana ada kata ‘masa depan’, yang berarti bahwa Kampus Merdeka ingin menguatkan keterhubungan antara perguruan tinggi dan masa depan.
Keterhubungan PT dan masa depan dapat dimaknai bahwa pendidikan harus senantiasa konteks dengan permasalahan zaman. Masalah zaman di sini tidak selalu berkaitan dengan pekerjaan apa yang akan diterima oleh para lulusan perguruan tinggi di waktu mendatang, tetapi lebih kepada solusi apa yang dapat dihadirkan oleh mereka untuk menjawab masalah yang dihadapi masyarakat sesuai dengan masa yang berkembang.
Jika harapannya adalah lapangan kerja, sarjana akan lebih mudah diterima kerja apabila mampu memenuhi permintaan yang menjadi masalah di dalam suatu instansi atau perusahaan. Jika harapannya adalah menjadi pengusaha, produk pengusaha pun akan mudah diterima apabila mampu menjawab permintaan yang menjadi masalah di tengah masyarakat. Namun, tentu yang tak kalah penting adalah pemecahan masalah dapat meningkatkan martabat umat manusia. Jadi, perguruan tinggi adalah ‘pabrik’ solusi yang diharapkan zaman.
Kampus Merdeka sendiri menekankan kembali bahwa proses pembelajaran mesti berpusat pada mahasiswa (student centered learning). Mahasiswa diberi kesempatan untuk secara bebas belajar di luar dari program atau kurikulum yang selama ini dijalankan di program studi masing-masing. Kalau ditilik lebih dalam, program Kampus Merdeka memiliki irisan dengan program-program yang selama ini telah berjalan, misalnya magang, kuliah kerja nyata (KKN), kuliah praktek lapangan (mengajar bagi calon guru), dan Program Kreativitas Mahasiswa yang mencakup kewirausahaan, pengabdian masyarakat, dan penelitian. Bedanya adalah pada konversi satuan kredit semester (SKS). Kampus Merdeka menjamin pilihan pembelajaran mahasiswa terakomodasi dalam SKS.
Pembelajaran jarak jauh selama pandemi sebenarnya dapat memberi gambaran mengenai implementasi Kampus Merdeka karena mahasiswa memiliki kesempatan untuk ‘lepas’ dari pantauan dosen secara fisik. Namun, tantangannya adalah tidak semua mahasiswa sungguh-sungguh dalam belajar mandiri. Maka pada proses ini, dosen memiliki beban tersendiri, yakni bagaimana memotivasi dan membangkitkan hasrat belajar mahasiswa.
Kebebasan memilih pelajaran sesuai minat dalam Kampus Merdeka memang dapat menolong hasrat belajar untuk tumbuh, tetapi faktor-faktor lain masih banyak berpengaruh, di antaranya adalah karakter. Sayangnya, tidak ada satu pun kosakata ‘karakter’ yang muncul dalam buku panduan Kampus Merdeka. Padahal, karakter yang positif, seperti kegigihan, kejujuran, kedisiplinan, kesetiakawanan, dan lain-lain akan selalu bermanfaat di setiap zaman. Karakterlah yang justru menghubungkan PT dan masa depan, bukan kompetensi semata.
Oleh karena itu, dosen berperan penting sebagai pembimbing dan fasilitator dalam internalisasi karakter positif mahasiswa. Apabila dijalankan dengan semestinya, kegiatan luar kampus yang dicanangkan Kampus Merdeka secara tidak langsung tetap membuka ruang untuk karakter-karakter positif dapat tumbuh. Di sinilah gelora budaya bekerja. Di sinilah makna tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 20 tahun 2003, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tantangan Kemendikbud kini adalah perhatian terhadap dosen-dosen di PT. Semoga pernyataan Menteri Nadiem Makarim dapat segera terwujud, “Memberi kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit...." agar pendidikan tinggi dapat melaju lebih cepat.
Pandemi memaksa kita untuk bergegas menemui masa depan, dan kita harus sadar, sebenarnya masa depan tidak pernah benar-benar jauh.