“Saya dan kawan-kawan di HIMKI melihat ini miris. Maaf.! menginggat negeri ini kuat karena industri berbasis kayu, dan pemimpin negara ini pun datang dari kegiatan usaha kayu. Saya sedih dan sayang jika peluang kita bisa memberi kontribusi besar untuk pundi-pundi ekonomi negara menjai tidak maksimal akibat regulasi para menteri terkait. Padahal instruksikan Presiden jelas agar mempermudah ekspor dan menjaga kelangsungan industri,” kata Sobur dalam pesan tertulisnya, Senin (14/9).
Sementara itu, Ketua DPD HIMKI Jepara Raya Maskur Zaenuri mengatakan, kalangan pelaku industri melihat upaya itu kini kian nyata, meski belum ada ekspor bahan baku. Mereka terus berupaya, terutama mayoritas asosiasi pelaku di hulu di industri kayu, agar bisa membuka ekspor khususnya perluasan penampang.
“Kami akan berjuang dan terus bersuara agar ekspor bahan baku tidak dibuka. Jika kebijakan perluasan penampang disetujui industri nasional kehilangan nilai tambah. Bahan baku habis, devisa dari industri hilang, dan banyak korban jatuh miskin ekstrem karena kehilangan pekerjaan, ujar Maskur yang juga pemilik CV Aulia Jati Indofurni,” ucap Maskur.
Saat ini, kebutuhan bahan baku di Jepara berkisar 3.000-3.500 meter kubik per bulan, yang di antaranya terdiri dari mahoni dan jati. Para pelaku berharap pemerintah konsisten dan serius mendukung primadona ekspor dengan cara mengkaji ulang untuk tidak membuka ekspor bahan baku secara membabi-buta.
Selain itu, persoalan SVLK hingga kini juga tidak kunjung selesai. Pemerintah khususnya departemen terkait tetap ngotot meminta SVLK dari hulu-hilir dengan alasan menjaga hutan lestari. Padahal para pelaku di hilir jelas membeli bahan baku dengan dokumen legal yang berarti bahan baku itu telah tersertifikasi sejak dari hulu.