Menelusuri Keturunan Raja Andi Sudirman Sulaiman hingga ke Raja Bone XVI La Patau Matanna Tikka

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR –- Para keturunan Paduka Yang Mulia (PYM) Puatta La Patau Matanna Tikka Raja Bone XVI dari seluruh dunia akan bertemu dalam format reuni keluarga tahun ini.

Kegiatan itu bertajuk Pertemuan Akbar Sedunia Wijanna Puatta La Patau Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Matinroe ri Naga Uleng Mangkau (Raja) Bone XVI. Kegiatan puncak dijadwalkan berlangsung pada bulan Agustus 2021 mendatang.

Sekedar ditekatahui, nama Lapatau Matanna Tikka diabadikan menjadi nama stadion utama di Bone. Stadion ini menjadi arena pembukaan Porda tahun 2006.

Humas panitia, Andi Fahry Makkasau menjelaskan, panitia pelaksana telah terbentuk. Terdiri atas perwakilan rumpun keturunan Puatta La Patau dari berbagai daerah. “Konferensi pers bahkan sudah disiapkan. Insya Allah, 11 Maret 2021,” ujarnya, Selasa, 9 Maret 2021.

Menurutnya, konferensi pers akan dilakukan di Fort Rotterdam. Ketua panitia, Andi Bau Irman Mappanyukki akan tampil memberi penjelasan kepada awak media. Bersama Andi Kumala Idjo (Plt Raja Gowa) dan Andi Baso Hamid (Pemangku Adat Kerajaan Bone).

Andi Muhammad Sapri Pamulu, wakil ketua panitia menambahkan, PYM Puatta La Patau Matanna Tikka Raja Bone XVI yang dikenal dengan gelar anumerta Matinroe ri Naga Uleng ini adalah seorang raja besar yang menjadi simpul leluhur dari hampir semua kaum bangsawan Bugis Makassar yang kini menyebar di seluruh dunia.

La Patau lahir pada tanggal 03 November 1672 dan wafat pada tanggal 16 September 1714 adalah Raja Bone yang menjabat pada tahun 1696-1714. Nama panjang La Patau adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng.

Anak cucu keturunan Puatta La Patau terdiri atas berbagai kalangan maupun profesi. Antara lain yang sekarang terkenal adalah Pangdam XIV Hasanuddin Mayjen TNI Andi Sumangerukkan dan Kasdam XIV Hasanuddin Brigjen TNI Andi Muhammad, mantan Mentan Andi Amran Sulaiman, Plt Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, sejumlah bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota termasuk Bupati Bone sekarang ini.

“Potensi besar keluarga inilah yang ingin direkatkan kembali. Agar satu dengan yang lain sesama keturunan Puwatta La Patau dapat terus terjalin silaturahmi dan hubungan kekeluargaan,” tambah Sekretaris Panitia, Andi Dahrul.

Menurut wakil ketua panitia lainnya, Andi Promal Pawi, meski jadwal pasti belum diputuskan, Bupati Bone Andi Fashar Padjalangi telah menyatakan kesediaannya menjadi tuan rumah.

lanjut, Andi Bau Irman Mappanyukki selaku Ketua Umum Panitia didampingi Andi Agung Mappasessu yang juga keturunan La Patau di Selayar, merasa optimis kegiatan ini akan sukses terlaksana.dengan menghadirkan ribuan keturunan Puatta La Patau dari seluruh penjuru dunia.

La Patau Matanna Tikka (lahir pada tanggal 03 November 1672 dan wafat pada tanggal 16 September 1714) adalah Sultan Bone XVI yang menjabat pada tahun 1696-1714. menggantikan Arung Palakka. Gelaran nama panjang La Patau adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng.

Sekadar diketahui, La Patau adalah anak adari pasangan La PakokoE To Angkone Arung Timurung, Paddanreng Tuwa VI (16), Putra Sultan Bone XIII La Maddaremmeng dan We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka yang merupakan adik dari Arung Palakka. Arung Palakka menikahkan La Patau Matanna Tikka dengan We Ummung Datu Larompong anak dari La Settia Raja, PajungngE ri Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang kemudian melahirkan We Batari Toja Daeng Talaga. Pada tahun 1687 Masehi, La Patau Matanna Tikka dinikahkan lagi oleh pamannya Arung Palakka di Makassar yaitu We Mariama Karaeng Pattukangan, anak KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Tumenanga ri Lakiung atau cucu yang juga merupakan cucu dari Sultan Hasanuddin.

Dari perkawinannya itu lahirlah empat anak, yaitu We Yanebana I Dapattola La Pareppa To Sappewali, La Padassajati To Appaware dan La Panaongi To Pawawoi. Diriwayatkan bahwa selain kedua permaisuri La Patau di atas, tercatat 18 (delapan belas) orang istri lainnya dalam Lontaraq antara lain adalah Sitti Maemuna (Dala Maru’), I Akiya (Datu Baringeng), We Rakiya (Dala Bantaeng), We Biba To Unynyi’, We Maisa To Lemo Ape’, We Leta To BaloE, We Sangi To BikuE, We SIa, We Sitti To Palakka, We Najang To Soga, We Caiya To BaloE, We Cimpau To UciE, We Baya To Bukaka, We Sitti, We Saira Karobang, We Sanra To Soppeng, We Ati, dan We Rupi.

La Patau dikenal sebagai raja yang sangat menghargai hukum adat istiadat. Ia sangat konservatif dan juga sangat tegas kepada para pemadat atau pecandu dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat sehingga dalam masa pemerintahannya semua adat istiadat berjalan dengan baik. Baginda tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri.

Pada masa kekuasaannya, tercatat dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa termasuk perang melawan mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang.

Pertama, yaitu pada tahun 1700 Masehi ketika Sulle DatuE ri Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Namun, Belanda segera turu tangan untuk menengahi kedua pihak sehingga peperangan tidak berlanjut.

Perang kedua yaitu pada tahun 1709 Masehi ketika La Padassajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahandanya sendiri maka melarikan diri ke Gowa untuk minta perlindungan kepada kakeknya.

Oleh karena permintaan Arumpone bersama Adat Tujuh Bone agar La Padassajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum.

Sebelum perang dimulai, Raja Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padassajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau menggantikan kakeknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To Sappewali juga bersikap sama dengan tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Konflik ini juga ditengahi oleh Belanda, sehingga perang perang antara anak dengan ayah menjadi terhindarkan.

La Patau adalah raja yang pertama mengangkat Matowa sebagai pemimpin orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dengan tujuan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dapat diawasi keadaan sehari-harinya karena mengingat pada waktu itu La Patau mempunyai tugas sebagai Raja Bone, dan sekaligus juga sebagai Ranreng Tuwa di Wajo. La Patelleng Amanna Gappa adalah orang yang pertama diangkat sebagai Matowa Wajo. (mukhlis amans hady/aci/FNN)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan