Jika dagingnya tidak tampak berubah, maka hukum makruh pun menjadi hilang. Penjelasan demikian sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab:
“Makruh mengonsumsi jalalah, yakni hewan yang sebagian besar makanannya adalah kotoran, seperti hewan unta, sapi, kambing, atau ayam. Mengonsumsi hewan jalalah ini tidak sampai berimbas pada hukum haram, sebab (efek memakan kotoran) perubahan dagingnya tidak terlalu dominan dan hal ini tidak menetapkan hukum haram. Jika hewan jalalah diberi makanan yang suci, dan dagingnya menjadi normal kembali, maka mengonsumsinya menjadi tidak makruh” (Asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah], 1995, juz 1: 454).
Dalam syarahnya bahkan disebutkan bahwa kesimpulan hukum makruh dalam mengonsumsi jalalah yang rasa dagingnya berubah, merupakan pendapat yang paten dan tidak ada perbedaan di antara para ulama mazhab syafi’i.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengonsumsi ikan lele dan hewan pemakan bangkai dan kotoran yang lainnya adalah halal tetapi tergolong hal yang dimakruhkan ketika terasa adanya perubahan pada daging yang ditimbulkan dari kotoran yang dimakan oleh hewan tersebut.
Kemakruhan ini menjadi hilang tatkala tidak terasa adanya perubahan rasa pada daging pemakan bangkai.
Sehingga sebaiknya bagi seseorang yang hendak mengonsumsi ikan lele agar lebih memprioritaskan ikan yang dibudidayakan bukan dengan bangkai atau kotoran, tapi dengan pakan yang lain.
Dengan demikian ia terbebas dari hukum makruh dalam mengonsumsi ikan lele tersebut. Wallahu a’lam. (dra/fajar)