FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengeluarkan kebijakan membolehkan anak keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) bisa mengikuti seleksi calon prajurit TNI.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, memang sudah seharusnya negara mengedapankan prinsip-prinsip kesetaraan hak asasi manusia (HAM). Dia mendukung kebijakan baru Jenderal Andika Perkasa.
“Memang sejak reformasi kan concern kita soal HAM, meski negara ini punya keputusan politik tentang PKI. Tapi, tidak boleh diterapkan secara membabi buta,” ujar Fahmi kepada JawaPos.com, Sabtu (2/4).
Fahmi mengajak masyarakat tidak perlu khawatir dengan diperbolehkannya keturunan PKI mendaftar TNI. Seperti ketakutan akan muncul lagi paham komunisme di Indonesia. Menurut Fahmi, TNI punya sistem pendidikan doktrinisasi yang hebat terkait sumpah setia dan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta idelogi Pancasila.
“Jadi kita jangan meragukan TNI, karena pendidikan TNI tidak main-main. Karena pendidikan TNI mampu melakukan doktrinasi cinta ke Indonesia. Sehingga siapapun latar belakang apapun, prajurit akan tunduk kepada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit,” katanya.
Karena itu, Fahmi meminta agar semua Kementerian dan lembaga bisa menerapkan kebijakan seperti yang dilakukan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Sebab sangat tidak adil masih adanya diskriminasi terhadap keturunan PKI. Sebab sebagai warga negara Indonesia (WNI) berhak mendapatkan kesetaraan yang sama.
“Memang kita harapkan apa yang dilakukan TNI bisa berdampak positif dan menular ke lembaga lain. Ini bukan berarti kita mengurangi kewaspadaan, tapi nanti perangkat pengawasannya ditingkatkan, sehingga saat berkecimpung di lembaga tidak terpengaruh ajaran atau paham yang sudah dinyatakan dilarang,” tuturnya.
Selain itu, Fahmi juga mendukung langkah Jenderal Andika Perkasa menghapus persyaratan mengenai tes bahasa asing. Hal ini karena kemampuan tersebut bisa dilatih pada saat prajurit TNI tersebut lolos tes.
“Syarat kemampuan berbahasa asing, memang itu tidak perlu dilakukan, karena ketika pendidikan juga mampu dididik untuk mampu bisa berenang dan kemudian bahasa asing,” ungkapnya.
Menurut Fahmi sangat tidak fair, jika calon anggota TNI sudah lolos di banyak tes dan memiliki kompetensi yang baik. Namun, gagal lolos hanya karena tidak bisa berbahasa asing. “Jadi kurang fair, misalnya calon prajurit punya banyak kompetensi, tapi hanya karena tidak bisa bahasa Inggris kemudian enggak lolos,” tuturnya. (jawapos/fajar)