“Yang pasti targetnya adalah membunuh industri hasil tembakau. Stakeholder pertembakauan dan perokok adalah orang minoritas yang selalu tertindas oleh kebijakan dan kepentingan asing,” tuturnya.
Lebih jauh disebut, perokok terpaksa menerima kenyataan harus berpikir kembali saat mau merokok. Rokok apa yang cocok sesuai kantong dan pendapatannya dan diperkirakan tidak akan memaksakan merokok sesuai selera awal dengan harga tinggi akibat naiknya cukai.
Perokok akan banyak memilih rokok harga murah dan terjangkau, sekalipun ilegal. Bisa jadi memilih melinting sendiri yang penting bisa merokok.
Bagi perokok, aktivitas merokok itu relaksasi dan rekreasi paling murah dibanding dengan aktivitas lain. Bahkan ada juga yang merokok sudah menjadi budaya meningkatkan kreatifitas.
Jika yang terjadi demikian, rokok ilegal marak di pasaran. Pabrikan rokok pelan dan pasti akan merugi. Saat pabrikan merugi efek domino dampaknya meluas sampai petani dan buruh.
Tak berhenti disitu, sektor yang bersinggungan langsung dengan keberadaan pabrikan rokok pasti omsetnya menurun.
Keterserapan tembakau dan cengkeh petani berkurang, PHK buruh bisa terjadi sepihak. Menurutnya Ini bukan salah pabrikan, pemerintahlah yang salah dengan kebijakannya.
“Jadi yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah pemerintah. Sri Mulyani eksekutornya,” ungkapnya.
Dalam rumus matematika, tidak ada usaha yang mau terus merugi. Ternyata pemerintah pun tidak mau merugi, apalagi pengusaha.
Pilihan terakhir kebijakan pabrikan rokok pasti perampingan pengeluaran anggaran bahkan bisa jadi mending ditutup sekalian.