“Mereka minimal masih punya modal dan bekal untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Beda bagi petani tembakau, cengkeh dan buruh rokok. Hasil pertaniannya mau dijual kemana, walaupun terjual apakah harganya sebagus pembelian pabrikan rokok. Buruh pun demikian, akan bekerja di mana, walaupun dapat kerja apakah gajinya senilai gaji yang biasa diterima saat di pabrikan rokok. Dengan kemampuan skill yang dimiliki dan umur, siapa yang mau menerimanya kerja. Sedangkan saat ini cari pekerjaan sangat sulit,” jelasnya.
“Kalaupun mau usaha, usaha apa? dengan tanpa modal atau modal minim. Dan lagi, apa dikira mudah berwirausaha? Akan tetapi nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Pemerintah terlebih Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap menaikkan tarif cukai. Lagi. Dan naik lagi,” tambahnya.
Lebih jauh disebut, dalam hal kenaikan cukai, pemerintah tidak memperdulikan nasib perokok, petani dan buruh rokok
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan Sri Mulyani lebih mengedepankan keuntungan pendapatan semata.
“Rakyat yang menerima pendapatan dari Industri Hasil Tembakau tidak dihitung sebagai pendapatan? Ke depan Pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya atas nasib sektor pertembakauan dampak dari kebijakannya. Rezim kesehatan dan antirokok jangan asal usul kalau tak punya solusi, jangan asal usil dengan saudara sendiri,” ucapnya.
“Kenaikan cukai adalah bentuk ketidakadilan kebijakan pemerintah terhadap stakeholder pertembakauan di Indonesia. Jangan salahkan jika terjadi ketidakpercayaan masyarakat pertembakauan terhadap pemerintah. Jika tertindas terus menerus, bisa jadi ada gerakan masif entah apa bentuknya yang bisa melemahkan eksistensi pemerintah,” pungkasnya. (selfi/fajar)