Selanjutnya, tutur Prof Muhammad Arsyad, Pemerintah perlu menata perolehan pendapatan seluruh stakeholders yang terlibat di sepanjang rantai produksi dan pemasaran gula, terutama tenaga kerja yang ada di perkebunan tebu.
"Kalau petani yang bekerja di perkebunan tebu tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum rumah tangganya, maka mereka akan memilih untuk meninggalkan perkebunan tebu dan pindah ke kesempatan kerja lainnya yg juga memang sangat butuh tenaga kerja," tambahnya.
Artinya, kata dia. Perkebunan harus mampu memiliki daya tarik sehingga minat pekerja tebu bisa bertahan untuk bekerja di sektor perkebunan tebu.
Hal itu dikarenakan meskipun Pabrik Gula (PG) Swasta yang memiliki lahan perkebunan tebu sendiri, tetapi tidak punya tenaga kerja, itu jelas sulit bertahan.
"Jadi jangan membayangkan swasembada gula kalau tidak ada tenaga kerja yang ingin menjadi petani tebu. Tanaman tebu ini kan memiliki keunikan tersendiri dibanding tanaman perkebunan lainnya," tukasnya.
Tambahnya, perkebunan tebu mensyaratkan ‘labor intensive’ terutama di wilayah-wilayah perkebunan tebu dengan topografi berbukit dan hampir tidak dapat mengintroduksi teknologi atau mekanisasi perkebunan.
Dengan begitu, tenaga kerja di lapangan sebagai pengganti mesin-mesin perkebunan dan pemanenan menjadi sangat krusial. Karena kelambatan proses tanam akibat kurangnya tenaga kerja, pemeliharaan (terutama pemupukan), panen dan pengangkutan tebu dari perkebunan ke pabrik itu sangat mempengaruhi rendemen tebu.
"Artinya, tenaga kerja di perkebunan tebu akan sangat mempengaruhi produksi gula. Ini punya rentetan dampak. Kalau tenaga kerja kurang, kan kita tidak mungkin melakukan perluasan areal perkebunan tebu secara berlebihan, karena siapa yang akan bekerja untuk itu," imbuhnya.