Sehingga, dalam kasus ini, kepada pihak yang dapat dibuktikan sebagai pelaku yang mengubah kata dalam konsideran Putusan MK, dari “dengan demikian” menjadi “ke depan.” Hal ini juga terkualifikasi sebagai pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang diperberat, sebagaimana diatur dalam Pasal 264 KUHP.
Kelanjutan kasus ini pun sepenuhnya dipegang aparatur penegak hukum sebagai kendali.
"Setidaknya selemah-lemahnya iman, kita masih bisa berharap ada sanksi etik kepada dia yang telah menghinakan peradilan dan konstitusi. Sebab putusan tidak batal, tetapi yang betul adalah yang terucap oleh hakim," tandas lelaki yang juga mengajar Mata Kuliah Hukum Korporasi itu.
Diketahui, cerita skandal hukum ini berawal dari pencopotan hakim konstitusi Aswanto yang dinilai mendapat intervensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini menimbulkan reaksi dengan munculnya gugatan atas pencopotan Aswanto.
Sudut Teoretis
Guru Besar Hukum Administrasi Negara (HAN) Unhas Prof Hamzah Halim menjelaskan secara keseluruhan teori penerapan sanksi etik dan pidana bisa dilakukan. Sebab, tindakan mengubah putusan bisa dinilai sebagai pemalsuaan dokumen formal, atau melakukan kebohongan.
"Tentu pasti salah, masa lain ditulis lain dibaca, tapi itu berlaku general untuk seluruh putusan persidangan," paparnya.
Menurutnya, ketika telah melakukan tindak pidana, artinya telah melanggar etik. "Yang benar itu harusnya yang tertulis, apalagi manusia biasa sering salah ucap, baik sengaja maupun tidak sengaja, tapi itu secara teori dan umum, ya," singkatnya.