FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menganjurkan Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk lebih terbuka dan melakukan analisis digital forensik perihal kasus peretasan yang dialami.
Hal itu dikatakan Deputi Bidang Keamanan Siber & Sandi Pemerintahan dan Pembangunan Manusia BSSN, Sulistyo, pada acara soft launching acara “National Cybersecurity Connect 2023” di Jakarta, Selasa (16/5).
“Untuk mengetahuinya (informasi terkait peretasan) langsung lakukan digital forensik. Tidak bisa sembarang menilai tanpa bantuan data yang valid,” kata dia.
Sulistyo menyebut bahwa tiap penyelenggara sistem elektronik (PSE) pada dasarnya membutuhkan Data Protection Officers (DPO), pejabat atau petugas yang bertanggung jawab untuk memastikan keamanan dan mitigasi risiko pelanggaran pelindungan data.
Meski perlu pemeriksaan lebih lanjut, ia menyebut PSE dapat dikenakan sanksi apabila lalai dalam perlindungan data.
“Kita lihat di UU 27 apabila data prosesor atau pengendali data, pengolahan sampai proses keamanan data tidak sesuai dengan standar keamanan maka lembaga akan dikenakan sanksi, tapi itu kan harus kita lihat lagi,” jelas Sulistyo.
Lebih lanjut, Sulistyo menjelaskan BSI juga perlu berinteraksi dan memberikan informasi mengenai apa yang sebetulnya terjadi secara terbuka, baik kepada pihak otoritas, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maupun masyarakat dan nasabah.
“Tentunya (BSI) harus berinteraksi dengan terbuka antara pihak yang mempunyai masalah dengan pihak otoritas, juga masyarakat, tetapi tidak ada pemaksaan,” ujarnya.