Fahri Bachmid berpendapat, putusan MK tidak membuat kanal konstitusional, hal itu terurai dalam bagian "ratio decidendi" atau pada bagian amar putusan itu sendiri.
"Untuk menampung keadaan khusus mengenai kaidah Peralihan, yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru dalam hal ini sesuai putusan MK saat ini," tukasnya.
Tujuan, kata Fahri. Untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum atau menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Fahri Bachmid juga menyoroti standar ganda MK dalam memandang serta bersikap terkait "open legal policy"patut dipertanyakan, sebab dalam pertimbangan hukum.
Dia menilai, meskipun pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang, akan tetapi prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai "open legal policy" dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable.
"Hal inilah yang menjadi pertimbangan Mahkamah, sehingga pada perkara a quo terkait dengan kebijakan hukum terbuka tidak dapat diserahkan penentuannya kepada pembentuk undang-undang," imbuhnya.
Terlebih, tutur Fahri. Dalam perkara a quo sangat tampak adanya perlakuan yang tidak adil "injustice" yang seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan "justice principle", pertimbangan yang demikian ini sangat kontra produktif dengan pertimbangan hukum yang MK berikan dalam perkara persentase syarat pencalonan presiden "Presidential Candidacy Threshold".