FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Henri Subiakto berharap Mahkamah Konsitusi (MK) memberi putusan yang adil. Terkait sidang sengketa Pemilu yang sedang bergulir.
Meski begitu, Henri agak pesimis. Ia menyebut terjadi pertarungan political power yang tak seimbang. Antara penguasa negara melawan kekuatan politik yang menginginkan keadilan dan penegakkan demokrasi.
“Civil society hanya berperan sebatas penonton yang teriakan dukungan dan yelyelnya hanya di medsos dan group group WA. Teriakan mereka tak banyak mempengaruhi persidangan apalagi membuat permainan menjadi berubah,” kata Henri dikutip dari unggahannya di X, Jumat(12/4/2024).
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekaenoputri menerbitkan tulisannya di Kompas pada 8 April lalu. Muatannya mengingatkan MK sebagai lembaga penjaga konstitusi yang berpengalaman dan sempat bermasalah karena Gibran bisa dicawapreskan.
“Apakah pesan Bu Mega itu mampu memengaruhi nurani para Hakim MK? Banyak yang pesimis,” ujarnya.
Ia menilai ada sejumlah faktor yang melatar belakangi itu. Salah satunya karena parpol yang dipimpin bu Mega terbukti gagal menggunakan hati nurani, berperan sebagai pemimpin politik di Parlemen.
“Gagal memimpin pengajuan Hak Angket yang sejatinya akan lebih punya kekuatan "menekan" Presiden daripada hanya MK semata,” imbuhnya.
“Terlepas dari alasan kegagalan PDIP di Parlemen, potensi kegagalan berikutnya bisa terjadi di MK,” tambahnya.
Menurutnya itu alasan Mega membuat tulisan tersebut. Karena ketika PDIP gagal lagi, maka bakal jadi kekalahan tiga kali PDIP dari Jokowi di Pemilu 2024.
“Pertama kekalahan 03 dan juga 01 di Pilpres, dengan berbagai macam penyebabnya. Kedua kekalahan mereka di Parlemen dengan pupusnya Hak Angket, sehingga tabir gelap perusakan demokrasi tak bisa diungkap lewat jalur politik,” jelasnya.
“Ketiga kemungkinan kekalahan di MK jika tim hukum mereka tak mampu meyakinkan para hakim konstitusi. Kedudukan skor bisa 3-0 untuk kemenangan Jokowi,” sambungnya.
Namun yang jadu persoalan, kata fua,
para ahli hukum pendukung 02 selalu menyuarakan bahwa MK hanya mengadili sengketa suara pemilu, hingga MK sering diplesetkan sebagai Mahkamah Kalkulator.
Sedangkan pihak penggugat berpegang pada prinsip MK mempunyai kewenangan membatalkan Pemilu. Seperti pernah diungkapkan Prof Yusril Ihza Mahendra 2014.
“Tapi menurut Yusril dkk sekarang Kewenangan MK sudah berubah karena aturan UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengatur fungsi MK. Ini titik tolak perdebatannya. MK menurut pendukung 02 harus tunduk pada UU,” terangnya.
Sementara pihak penggugat mengingatkan bahwa MK itu lahir dari amanat konstitusi. Tugasnya mengadili UU berdasar UUD atau konstitusi. Selain itu MK juga mengadili pelaksanaan UU dengan dasar Konstitusi.
“Kalau sekarang MK ditarik dengan dibatasi UU no 7 tahun 2017 & tafsirnya. Maka peran MK didorong hanya jadi pelaksana UU. Padahal UU no 7 tahun 2017 itu dulu dibuat dlm rangka “memfasilitasi” Jokowi di Pemilu 2019,” ungkapnya.
Sebagian ahli hukum lain berpendapat hanya konstitusi yang bisa membatasi peran MK. Jika UU membatasi MK, maka para hakim MK tidak bisa mengadili UU. Tidak boleh menyalahkan UU. Mereka harus taat dengan isi UU, sebagaimana tugas hakim “biasa.”
“Sedangkan Hakim MK itu memang beda. Justru fungsinya adalah mengadili UU sehingga MK bukan pelaksana UU. Melainkan MK adalah pelaksana konstitusi. Penjaga Konstitusi dari materi UU yang salah, atau bertetangan dengan konstitusi,” pungkasnya
Bagaimana selanjutnya keputusan MK terkait sengketa Pemilu ini? Nampaknya Keputusannya tak hanya menentukan apakah petitum para pemohon diterima atau ditolak, tapi juga akan menentukan apakah MK itu berfungsi sebagai pelaksana Konstitusi dan penjaganya, atau turun derajad sekadar sebagai pelaksana UU semata?
“Bukan penjaga konstitusi dalam arti luas. Jika demikian di babak berikutnya siap2 Kelompok politik yang menggugat hasil pemilu di MK akan mengalami kekalahan 3-0 melawan politik pak Jokowi,” tandasnya.
(Arya/Fajar)