Banjir di Barru makin parah sejak adanya pembangunan rel Kereta Api (KA) Makassar-Parepare. Liputan kami menunjukkan Proyek Strategis Nasional (PSN) itu mulai dari perencanaan hingga pembangunannya mengabaikan dampak lingkungan.
Penulis: Arya Nur Prianugraha
Sejak suami dan anaknya meninggal terseret banjir, hujan bukan lagi berkah bagi Fera. Kini, hujan adalah pemantik trauma yang menyisakan kesedihan mendalam.
“Kalau hujan deras dan saya sendiri di rumah. Saya pasti menangis,” kata perempuan bernama lengkap Ferawati itu kepada fajar.co.id, saat ditemui di kediamannya, Sabtu 21 September 2024.
Fera tinggal di Takkalasi, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan (Sulsel). Jaraknya 113 kilometer dari Ibu Kota Sulsel, Makassar. Dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama tiga jam. Dari kota Barru, Balusu berjarak 15 kilometer dengan waktu tempuh 20 menit.
Rumah Fera berada 160 meter di belakang deretan rumah warga di pinggir Jalan Poros Takkalasi. Untuk kesana mesti meniti pematang yang membelah rumah warga dan empang.
Halaman rumahnya cukup luas. Di bagian belakang, ada pohon jambu. Di sana Fera menambat sapi yang ia gembala. Di bagian depan, ada dua pohon mangga yang membatasi rumah panggung itu dengan tiga petak empang.
Di kolong rumahnya ada sebuah bale-bale. Tempat istirahatnya di siang hari sambil menjaga sapi dan ayam-ayamnya.
Di bale-bale itulah Fera menceritakan bagaimana suaminya, Muhammad (53) dan Sulfiah (14), anak tirinya meninggal. Serta bagaimana ia menanggung trauma dan beban sebagai orang tua tunggal sejak hari itu.
Kala itu, Jumat 28 Desember 2018, Barru terendam banjir. Banjir menerjang Kecamatan Barru, Balusu, Soppeng Riaja, Tanete Riaja, dan Mallusetasi. Jalan Poros Makassar-Parepare bahkan sempat lumpuh.
Pukul 07.00 WITA, banjir masih sepinggang orang dewasa. Muhammad menggendong Sulfiah dari rumahnya menuju rumah orang tuanya yang sehari sebelumnya meninggal.
Fera meminta diri ikut. Namun Muhammad menolak. “Saya bilang kita bersamaan. Tapi dia bilang, saya duluan saja,” kenang Fera.
Waktu berlalu, tak ada kabar dari keduanya. Fera yang gelisah akhirnya mengajak Annisa, menyusul Muhammad dan Sulfiah.
“Setelah saya ke sana, dia sudah di situ,” kata Fera menunjuk ke empang yang berjarak tak lebih 50 meter di depan rumahnya. Saat itu Fera baru sadar, suami dan anaknya terbawa arus banjir dan terjerembab di empang.
Saat melihat Muhammad dan Sulfiah tenggelam, Fera dan Annisa sempat terseret banjir. Namun masih selamat. Setelahnya, Fera dan Annisa mengamankan diri di rumah warga dan meminta pertolongan agar suami dan anak tirinya dievakuasi. Namun air kian tinggi.
Pencarian Muhammad dan Sulfiah dilakukan hampir 24 jam. Jenazahnya baru ditemukan keesokan harinya, di empang kedalaman sekitar satu meter, dengan posisi saling berpegangan.
Setelah kejadian itu, hujan adalah hal yang menakutkan bagi Fera. Jika hujan bagi sebagian orang menyenyakkan tidur, bagi Fera merupakan mimpi buruk.
Dia mengisahkan, di suatu malam di pertengahan Desember 2023, janda anak satu itu sendiri di rumah. Anaknya, Annisa yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan ke Makassar mengikuti program Praktik Kerja Lapangan (PKL) selama beberapa pekan.
Hujan yang turun malam itu seperti kembali membuka luka lamanya. Karena tak tahan mendengar suara hujan, Fera menyumpal dua telinganya dengan selimut dan bantal. Semakin deras air menerpa atap, semakin ia menekan bantal dan selimut agar tak mendengar suara hujan. Namun rumah panggung dengan atap tanpa plafon itu membuat suara hujan sangat jelas.
Perempuan paruh baya itu tak kuasa membendung air matanya. Tangisnya pecah.
“Kepalaku kututup. Saya nda sanggup dengar.”
Sebelum menewaskan Muhammad dan Sulfiah, tahun-tahun sebelumnya banjir juga menerjang Barru. Tapi menurut Fera, banjir hari itu berbeda.
“Semenjak lahir, saya baru lihat banjir sebesar itu,” kata Fera yang sejak lahir tinggal di Balusu. “Air sampai situ. Hanya menyisakan dua anak tangga,” lanjut Fera, menunjuk tangga di rumahnya dengan 13 anak tangga. Tangga itu setinggi sekitar dua meter.
“Sebelum ada pembangunan rel kereta api, banjir hanya sampai sini,” ucap Fera sambil memegang pinggangnya.
Fera menduga biang keroknya adalah pembangunan jalur Kereta Api (KA) Makassar-Parepare. Jalur kereta ini direncanakan melintasi lima kabupaten dan kota: Makassar, Maros, Pangkep, Barru, dan Parepare.
Hal senada disampaikan Mappi Asse Hasan, salah satu Ketua RT di Kelurahan Takkalasi, Kecamatan Balusu, Barru. “Sebelumnya (pembangunan rel kereta api) memang banjir, tapi tidak tinggi.”
Proyek KA Makassar-Parepare ini adalah bagian dari proyek KA Trans Sulawesi yang diproyeksi menghubungkan Makassar-Manado, ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pada 2017. Jalur Makassar-Parepare merupakan pembangunan tahap I yang ditarget rampung 2026.
Peletakan batu pertama proyek itu pada 18 Agustus 2014 di Desa Siawung, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Pemasangan rel pertama dilakukan 13 November 2015 di Desa Lalabata, Kecamatan Tanete Rilau, Barru.
Pada tanggal 28 Desember, Stasiun Garongkong, Barru - Stasiun Mandai, Maros mulai dioperasikan terbatas. Kemudian diresmikan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 29 Maret 2023.
Asumsi Fera dan Hasan tak mengada-ada. Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) jalur KA Makassar-Parepare dengan konsultan PT Antariksa Globalindo itu menyebut sejumlah wilayah lintasan rel memang rawan banjir. Terutama Kabupaten Maros, Pangkep, dan Barru.
Sayangnya dalam amdal yang melibatkan 10 ahli dari berbagai disiplin ilmu itu hanya melampirkan peta rawan banjir untuk Kota Makassar. Tidak untuk Barru dan kabupaten lainnya.
“Memang tidak spesifik, kami hanya mengikuti ToR (kerangka acuan),” kata Mahmud Ahmad, Dosen Universitas Hasanuddin yang menjadi ahli hidrologi dalam tim penyusun dokumen amdal proyek jalur KA Makassar-Parepare.
Analisis risiko banjir menyeluruh malah dilakukan Mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Aura Putri Zafira dalam penelitiannya berjudul “Analisis Tingkat Risiko Banjir dan Tanah Longsor di Jalur Kereta Api Makassar-Parepare”. Penelitian yang terbit di Jurnal Greenation Ilmu Teknik pada Agustus 2024 itu menunjukkan adanya risiko banjir di Barru.
Jurnal itu ditulis Aura dengan dua dosennya, Sutoyo dan Heriansyah Putra, bersama dua orang dari pihak PT Celebes Railway Indonesia (CRI). PT CRI merupakan penyelenggara prasarana perkeretaapian kereta api Makassar-Barru, meliputi pembangunan, pengoperasian, dan perawatan jalur.
Aura menggunakan metode scoring dan overlay yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam menganalisis risiko. Dalam arti lain, Aura menggabungkan sejumlah data, lalu membuat penilaian berdasarkan data tersebut.
Data yang digabungkan adalah peta elevasi tanah, tekstur tanah, curah hujan, tutupan lahan, dan buffer atau penyangga aliran sungai. Hasilnya menunjukkan sejumlah jalur kereta api di Barru berisiko banjir. Kecamatan Balusu, Mallusetasi, dan Soppeng Riaja masuk kategori risiko sedang.
Jika ditotal, luasan yang berisiko banjir sepanjang rencana pembangunan rel KA Makassar-Parepare didominasi berisiko. Luasnya 126.553,025 hektar, sedangkan yang aman dari risiko banjir hanya 37190.67 hektar.
Pada dasarnya, titik pembangunan rel KA Makassar-Parepare memang rawan dan berisiko banjir. Itu juga sudah diprediksi tim ahli amdal.
Dalam dokumen amdal, jika rel sepanjang 1522 kilometer itu rampung, maka banjir di Barru makin parah. Penyebabnya karena penggalian atau penimbunan lahan untuk jalur kereta api menghambat aliran air dari hulu bermuara ke laut. Sehingga genangan atau banjir makin berpotensi terjadi.
Analisis tersebut menyebut akan ada dampak banjir dengan skala besar. Peluang terjadinya banjir disebut tinggi, kerawanan dampaknya juga tinggi. Karenanya, dengan peluang kejadian tinggi, dengan kerawanan tinggi, maka disebutkan dampak banjir ini bersifat penting.
“Berdasarkan hitungan kami di hidrologi, debit air yang mengalir dari atas menuju bawah itu dataran memang. Sehingga pembuangan air dari hulu menuju laut terhambat, mau tidak mau banjir. Kedua, kalau hujan itu ekstrem, itu terjadi banjir. Walaupun dia buat saluran air di antara atau di bawah rel, tetap banjir,” jelas Mahmud.
Karena kerawanan itu, dokumen amdal tersebut merekomendasikan pembuatan box culvert atau gorong-gorong, drainase, dan jembatan. Agar air bisa mengalir tanpa terhambat jalur kereta api.
Proyek Ugal-ugalan
Bangunan itu membelakangi matahari yang sebentar lagi terbenam. Atapnya cembung, terbuat dari seng, namun sudah ompong di bagian depan. Plafonnya sebagian juga sudah runtuh. Desainnya unik, ada ornamen dengan motif ukir khas Toraja pada bagian sampingnya. Di bawah ornamen itu tertulis “Stasiun Takkalasi”.
Stasiun Takkalasi di Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru (Foto: Arya Nur Prianugraha/Fajar)
Stasiun itu hingga kini belum beroperasi. “Mungkin tahun depan,” kata seorang satpam yang menjaga stasiun itu kepada saya. Meski belum beroperasi, relnya sudah rampung. Rel itu membelah persawahan, empang, jalan, Daerah Aliran Sungai (DAS) Balusu, dan sejumlah aliran sungai kecil.
Sepanjang rel, mestinya ada saluran yang meloloskan aliran air dari hulu hingga bermuara di laut.
Merujuk dokumen amdal, sepanjang 1522 kilometer rel KA Makassar-Barru, mestinya dipasang 250 buah gorong-gorong, jembatan 27 buah, dan drainase sepanjang jalur untuk menghindari banjir. Saluran ini berfungsi agar air bisa mengalir setelah terbendung rel.
Namun berdasarkan pantauan langsung dan menggunakan satelit, tidak semua lintasan rel yang selesai dibangun terdapat drainase, terutama rel yang stasiunnya belum beroperasi. Misalnya sepanjang rel Stasiun Takkalasi.
Sementara untuk gorong-gorong, dalam dokumen amdal tidak disebutkan titik koordinatnya. Tim ahli penyusun amdal lagi-lagi menyebut hanya mengikuti kerangka acuan.
“Memang seperti itu. Makro sekali dia buat analisis. Karena yang dikerjakan mengikuti ToR (kerangka acuan),” ucap Mahmud.
Gorong-gorong yang diharap bisa memaksimalkan irigasi dan peresapan, dipasang hanya satu titik untuk wilayah Balusu. Terletak 324 meter dari sisi kanan Stasiun Takkalasi, tepat pada fly over atau jembatan layang yang melintasi Jalan Poros Balusu.
Namun gorong-gorong itu janggal. Pemasangannya lebih tinggi dari jalan.
Gorong-gorong yang dipasang di sebelah kiri dan kanan Jalan Poros Balusu lebih tinggi dari jalan (Foto: Arya Nur Prianugraha/Fajar)
“Ini menurut saya anomali. Kenapa anomali? Masa saluran (gorong-gorong) lebih tinggi daripada jalan. Berarti kalau salurannya penuh, jalannya tenggelam. Aneh. Ini aneh,” kata Prof Farouk Maricar, Ahli Hidrologi Universitas Hasanuddin, saat diperlihatkan foto gorong-gorong tersebut.
Selain posisi gorong-gorong yang lebih tinggi dari jalan, saluran penyambungnya juga tidak ada. “Alirannya dari mana. Dari pemukiman atau bagaimana? Kenapa tidak ada saluran yang mengarah pada box culvert tersebut. Ini aneh,” katanya dengan mengerutkan dahi.
“Ini perlu dikritisi,” Farouk bahkan tertarik untuk menelitinya lebih lanjut. “Ini sudah bisa dijadikan sebagai landasan mengkritik.”
Pada prinsipnya, jelas Farouk, saluran berguna agar aliran air lancar. Itu menentukan apakah pembangunan rel tersebut memang mengakibatkan banjir atau tidak.
“Kalau semua drainase dari hulu itu diakomodir, dibuatkan culvert, memang banjir yang terjadi melebihi kapasitas perencanaan. Tapi kalau memang tidak diakomodir, memang itu (banjir) terjadi karena pembangunan rel kereta api,” terangnya.
Serupa dengan temuan kami, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulawesi Selatan (Sulsel) juga menemukan sejumlah rel yang telah rampung tanpa drainase. Kepala DLHK Sulsel Hasbi A. Nur, meyakini pembangunan rel kereta api memang memperparah banjir di Barru. Pernyataan yang sudah berkali-kali disampaikan kepala pemerintah daerah di Sulsel, mulai bupati hingga gubernur.
Hasbi juga menyorot adanya perubahan trase atau titik koordinat jalur kereta api. “Kami tidak disampaikan ada perubahan,” ucapnya. Titik koordinat yang rampung dibangun dari Maros hingga Barru saat ini, kata dia sudah tidak sesuai dengan dokumen amdal.
Mahmud, yang merupakan ahli hidrologi dalam tim penyusun amdal juga mengaku tidak ada koordinasi padanya saat ada perubahan titik koordinat rel. “Kalau terjadi perubahan, mestinya ada tinjauan ulang terhadap dampak yang ditimbulkan.”
DLHK Sulsel mengaku telah berkali-kali menyampaikan pada Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulsel, sebagai penyelenggara sarana KA Makassar-Parepare agar melakukan revisi amdal. Namun itu tidak dilakukan, Jokowi malah meresmikannya Maret 2023 lalu dengan bangga.
“2023 kita sudah sampaikan. Di sebelumnya juga kita lakukan… Tapi mungkin karena keterbatasan anggaran di pusat,” imbuhnya.
Hasbi Assidiq dari Divisi Advokasi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya LBH Makassar menyebut pembangunan rel KA Makassar-Parepare yang mengenyampingkan aspek lingkungan menunjukkan proyek tersebut bermasalah sejak awal.
Hasbi menjelaskan, amdal dibuat untuk memastikan aktivitas usaha yang memiliki risiko lingkungan tinggi bisa dicegah kerusakan lingkungannya, atau meminimalisir risiko. Ketika ada kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan, maka bisa dilakukan mitigasi dengan rencana pemantauan dengan pengelolaan lingkungan.
Karenanya, dengan alasan apapun, kata dia, pembangunan tidak boleh berbeda dengan dokumen amdal. Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012. Jika ada perubahan, seperti titik koordinat jalur, maka mesti melakukan kajian ulang. Pembangunan mesti dihentikan.
“Karena perubahan titik koordinat itu juga akan mengubah dampak yang ditimbulkan,” terang Hasbi.
Meski begitu, Hasbi mengatakan fenomena demikian lazim dalam PSN. Dokumen seperti amdal kerap dikesampingkan asal proyek jalan dan segera diresmikan.
“Ini jadi problematik dalam kebijakan PSN itu. Kadang kebijakan itu baru dibuat, dokumen-dokumen itu hanya jadi legitimasi supaya proyeknya berjalan. Kadang juga proyeknya sudah berjalan di lapangan, dokumennya baru dibuat.”
Narasumber kami di DLHK Sulsel yang mengetahui kelengkapan dokumen proyek tersebut menyatakan hal serupa.
“Yah, ini kan PSN,” ucap narasumber itu.
Senada dengan itu. Sebagai ahli hidrologi, Mahmud yang banyak mengerjakan dokumen amdal, menyebut ada pola yang sama dalam proyek dengan cap PSN. Seperti dalam pengerjaan amdal rel KA Makassar-Parepare.
“Memang dulu itu karena Proyek Strategis Nasional yah kan. Seolah-olah ini harus segera jadi. Sehingga begitulah. Dalam pelaksanaannya kadang-kadang sudah dianggap… ini titipan nasional. Tidak peduli dampak negatifnya ada atau tidak.”
Menuai Bala
Fera menurunkan nada suaranya. Kemudian wajahnya ia palingkan ke kiri, lalu kembali menyeka air matanya.
“Annisa hanya mamanya yang kasi sekolah,” kata Fera terisak. “Hanya saya yang kasi sekolah itu kasihan. Tidak ada itu yang bantu-bantu,” ucapnya melanjutkan.
Annisa kini berumur 18 tahun. Umurnya tiga tahun saat ayah kandungnya cerai dengan Fera. Sejak saat itu, Fera membesarkan Annisa sendiri, sebelum akhirnya menikah dengan Muhammad beberapa waktu kemudian.
Saat Muhammad dan Sulfiah meninggal terseret banjir, Annisa masih 12 tahun. Saat itu Fera kembali jadi orang tua tunggal.
Fera membiayai sekolah Annisa dari hasil gembala sapi dan pelihara ayam kampung. Ada total lima sapi yang ia gembala saat ini.
“Semenjak suamiku meninggal, pendapatanku dari hasil pelihara sapi. Sapinya om-ku. Dari situ Annisa bisa selesaikan sekolahnya.”
Tahun ini, Annisa telah menyelesaikan sekolahnya. Tapi Annisa maklum, kondisi perekonomian keluarganya tidak mampu membiayai dirinya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
“Tidak usah kuliah mama, tidak ada uang,” kata Fera meniru perkataan Annisa saat baru lulus sekolah. “Kubilang iya nak. Tamat SMK sudahmi. Apa kasihan mau dipake (biaya kuliah),” timpal Fera kala itu.
Keterbatasan ekonomi memang hal yang membuat Annisa tak berkuliah. Tapi itu hanya satu hal. Hal lainnya, jika ia kuliah, Annisa akan meninggalkan rumah. Meninggalkan ibunya dengan kesendirian dan traumanya.
Bala banjir di Barru akibat pembangunan rel kereta api tidak hanya dirasakan Fera dan Annisa. Warga Takkalasi yang perekonomiannya ditopang hasil sawah dan tambak juga terdampak.
Sawah dan empang mulanya digusur untuk pembangunan rel. Di Barru, total pembebasan lahan 763 hektare. Di antaranya sawah non irigasi 720 hektare, lahan kosong atau kebun 27.19 hektare, dan tambak 43 hektare.
Setelah rel rampung, produktivitas petani sawah dan tambak yang tersisa malah jeblok.
Pada dasarnya, sistem irigasi untuk persawahan di Barru memang bermasalah sebelum ada pembangunan rel. Sawah-sawah di sana kebanyakan hanya panen sekali setahun, menadah dari air hujan.
“Tidak pernah dua kali. Itu pun keberhasilan tergantung hujan. Kalau tidak, tanaman mati. Rejeki tuhan saja,” kata Mappi Asse, salah satu Ketua RT di Balusu yang juga petani padi.
Meski irigasi di Barru untuk persawahan bermasalah, Mappi menyebut saat ini persoalannya lebih parah lagi. Pembangunan rel membuat sawah banjir saat musim hujan.
“Jadi kalau musim kemarau tidak ada air, tapi musim hujan banjir,” ucapnya dengan mendengus.
Satire, petani tambak juga mengalami hal serupa. Ia dan dua orang temannya mengelola tambak seluas empat hektar yang berjarak 879 meter dari Stasiun Takkalasi.
“Orang Ujungpandang (Makassar) yang punya,” kata pria paruh baya itu.
Tiap panen, hasil tambak dibagi dua antara pemilik dengan pengelola. Dari pembagian itu kemudian Satire membagi tiga dengan dua orang temannya.
Masalah tambak mirip dengan petani sawah. Tiap musim hujan tiba, banjir datang, air menyapu tambak.
“Rata semua. Hanyut semua (ikan dan udang).
Kalaupun tidak musim hujan, masalahnya lain lagi. Dampak krisis iklim ditambah irigasi yang buruk membuat udang mudah terkena penyakit.
Tambak di Takkalasi kini sudah banyak yang tidak terurus. Pemiliknya enggan mengelola karena pendapatan yang tidak pasti.
Di sisi lain, pembangunan rel KA Makassar-Parepare terus berlanjut. Meski masa jabatan Presiden ke-7 Jokowi sudah usai, dampak proyek yang diresmikannya tak usai-usai.
Kami telah berusaha menghubungi BPKA Sulsel sejak 10 Oktober 2024 secara berkala untuk menanyakan progres pembangunan rel dan dampaknya. Kami juga telah bertemu. Namun hingga berita ini rilis, pihak BPKA enggan menjawab pertanyaan kami.