Penulis “Teruslah Bodoh Jangan Pintar” Respons Tren Kabur Aja Dulu, Bandingkan Penghasilan di Luar Negeri

  • Bagikan
Tangkapan layar akun Instagrama @tere liye

FAJAR.CO.ID -- Tren dengan tagar #kaburajadulu terus menggema di media sosial. Penulis novel terkenal Tere Liye pun merespons pro kontra kerja di luar negeri atau di dalam negeri dengan mengurai penghasilan dan potensi tabungan ketika bekerja di luar dan di dalam negeri.

Tren Kabur Aja Dulu ini mengemuka sebagai ungkapan keresahan anak-anak muda Indonesia terhadap dinamika di dalam negeri. Mereka khawatir pada kondisi perpolitikan, pendidikan, lapangan kerja, dan berbagai masalah sosial lainnya. Termasuk perbedaan penghasilan bekerja di dalam negeri dan di luar negeri.

Tere Liye pun merespons pro kontra penghasilan para pekerja di dalam dan di luar negeri dengan menuliskan hasil pengamatannya di akun pribadi media sosial Instagram @tere liye.

Dia membuka tulisannya dengan pertanyaaan soal perdebatan kerja di dalam negeri dan luar negeri.

"Kalian masih ribut2 soal bagusan kerja di LN atau di dalam negeri? Aduh." ujarnya.

Tere Liye melanjutkan, "Coba lihat tabel hitung-hitungan ini. Mari kita bandingkan. Gaji, sy pakai angka bagus. Di luar negeri dapat 20 juta (Jepang/Korea), itu bagus untuk pekerja kasar. Di dalam negeri, gaji 4 juta juga bagus," urai penulis novel itu.

Dia membandingkan upah minimum provinsi atau UMP di Jawa Tengah dan Yogyakarya hanya sekitar Rp2 jutaan. Bahkan di Jabodetabek hanya sekitar Rp5 juta.

"Buanyak yang real gajinya di bawah itu. Ada yang cuma Rp1,5 juta. Jadi mari ambil angka sama-sama tinggi," katanya.

Soal biaya makan, dia membandingkan biaya makan di luar negeri sekitar Rp70.000 sekali makan. Di dalam negeri, cuma Rp15.000.

Kemudian komponen biaya hidupnya lainnya adalah biaya indekos/kontrak atau sewa rumah. Kemudian biaya lain-lain seperti transportasi dan lainnya.

"Mau kalian jungkir balik utak-atik angkanya, kerja di luar negeri akan selalu potensial saving lebih tinggi secara nominal. Bahkan jika biaya hidup di Indonesia ditekan semurah mungkin, saving rate naik, tetap saja tabungan secara nominal di LN unggul," katanya.

Tingginya saving atau tabungan para pekerja di luar negeri karena perbedaan yang cukup jauh antara penghasilan dan pengeluaran, kata Tere Liye, jadi alasan pekerja restoran fast food di Australia, buruh kasta rendah di sana, bisa liburan ke Bali atau Lombok.

Bagaimana dengan pekerja restoran fast food di Indonesia? "Nggak kuat liburan ke Australia. Paham?." sindirnya.

Ada pula yang berdalih pajak di luar negeri sangat tinggi. Bisa mencapai sekitar 50 persen hingga 60 persen.

"Memang. Tapi informasimu kurang banyak. Di LN itu juga ada PTKP. Nilainya lebih tinggi dibanding PTKP Indonesia. Di sana juga ada tarif progresif, yang angkanya juga kadang lebih menarik bagi pekerja kasar," Tere Liye memberi pencerahan.

Sementara di Indonesia, Penghasilan Tidak Kena Pajak alias PTKP Rp60 juta setahun sudah gembira. Di luar negeri, angkanya bisa lebih tinggi.

"Layer pajak 5-10% itu kompetitif. Kamu sih fokus ke layer 50-60%, kayak menteri yg nakut-nakutin pajak di luar negeri tinggi." ujarnya.

Fakta lain di balik pajak tinggi di luar negeri adalah pajak yang ditarik dari rakyat itu kembali ke rakyat dengan pelayanan maksimal. Seperti transportasi publik murah, akses kesehatan bagus, pendidikan bagus, dll.

"Tapi, itu benar, kalau bisa milih ya Allah, tetap lebih enak kerja di dalam negeri, asal gajinya versi LN, dan pejabat pemerintahannya juga dari LN. Enaaak banget. Bisa ditukar nggak itu pejabat2 lokalnya, yang hobi banget plop plop totot?." sindir Tere Liye. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan