FAJAR.CO.ID -- Menteri Energi dan Sumber Data Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku pemerintah akan membangun kilang minyak (refinery) terbesar di Indonesia. Di sisi lain, para direksi PT Pertamina Patra Niaga sudah melakukan dugaan korupsi dengan mengakali dan menolak produksi minyak kilang dalam negeri.
Akal-akalan direksi Pertamina Patra Niaga menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya. Akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.
Ketika produksi kilang minyak dalam negeri sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak. Pertamina beralasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis.
Tersangka kemudian melakukan impor minyak dengan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung (harga yang berlaku saat itu).
PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha atau DMUT.
Tersangka MK dan EC juga menyetujui mark up kontrak shipping (pengiriman) oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee sebesar 13 persen sampai dengan 15 secara melawan hukum.
Di tengah kebisingan korupsi impor minyak mentah dan pengoplosan BBM RON 90, Menteri Energi dan Sumber Data Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut pemerintah akan membangun kilang minyak (refinery). Kilang minyak tersebut bakal memiliki kapasitas 500 ribu barel atau terbesar di Indonesia.
Rencana pembangunan kilang terbesar di Indonesia ini akan membutuhkan investasi hilirisasi tahap pertama mencapai USD45 miliar. Biaya pembangunan kilang terbesar berasal dari modal Badan Pengelola Investasi Danantara.
Bahlil mengatakan, proyek kilang tersebut termasuk dalam tahap pertama investasi hilirisasi di tahun 2025.
"Kapasitasnya kurang lebih sekitar 500 ribu barel. Ini salah satu yang terbesar nantinyadalam rangka mendorong agar ketahanan energi kita betul-betul lebih baik," kata Bahlil di Istana Kepresidenan, Senin (3/2).
Tahap pertama hilirisasi tahun 2025 ditargetkan sekitar USD618 miliar. "Tadi kami paparkan kurang lebih sekitar 21 proyek pada tahap pertama yang total investasinya kurang lebih sekitar USD45 miliar," kata Bahlil.
Selain kilang, proyek hilirisasi tahap pertama lainnya adalah pembangunan penampungan minyak mentah untuk Cadangan Penyangga Energi di Pulau Nipa. Pemerintah juga akan meneruskan proyek hilirisasi batu bara menjadi dimetil eter (DME), yang akan menjadi substitusi LPG. (*)