KPK Minta Gaji Kepala Daerah Dinaikkan, Politisi PDIP: Korup karena Ongkos Politik, Bukan Gaji Rendah

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Usulan KPK mengenai kenaikan gaji Kepala Daerah demi mencegah praktik korupsi mendadak menjadi perbincangan publik belakangan ini.

Hal ini juga tidak lepas dari isu sebelumnya mengenai gaji hakim yang dinaikkan Presiden Prabowo hingga 280 persen. Latar belakangnya sama, demo menghindari kecurangan.

Menanggapi hal tersebut, Politisi PDIP, Ferdinand Hutahaean mengatakan bahwa usulan KPK tidak layak untuk dijadikan bahan pertimbangan.

Dikatakan Ferdinand, masalah gaji bukan pemicu utama terjadinya praktik korupsi di kalangan pejabat.

"Kalau kita bandingkan dengan negara lain, dengan negara yang gajinya hampir sama dengan kita, tapi mereka takut korupsi," ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Jumat (13/6/2025).

Meskipun demikian, Ferdinand tidak menampik bahwa gaji juga bisa menjadi salah satu pemicu. Namun, menurutnya bukan paling utama.

"Tapi yang paling kendala di kita, menyebabkan korupsi liar di mana-mana adalah biaya politik yang tinggi," sebutnya.

Ferdinand kemudian memberikan gambaran, biaya demokrasi di Indonesia yang terbilang sangat tinggi. Untuk maju menjadi Kepala Daerah harus menggelontorkan uang miliaran rupiah.

"Bahkan kalau di kota besar, harus mengeluarkan ratusan miliar. Dari mana kembalinya duit itu kalau tidak mengambil bagian dari cawe-cawe APBD," Ferdinand menuturkan.

Mantan calon DPR RI ini menilai, jika memang pemerintah ingin serius menuntaskan korupsi, maka ongkos politik yang harus dikurangi.

"Harus ditangani dulu, bagaimana kita menciptakan demokrasi yang murah. Sehingga yang berkualitas nanti akan terpilih," imbuhnya.

"Ini kan demokrasi kita mahal, jadi menjadi biang kerok korupsi, itu yang pertama. Kedua baru soal gaji, karena memang gaji juga menentukan. Tapi kalau demokrasinya murah, orang mungkin akan siap terima gajinya segitu," tambahnya.

Kata Ferdinand, selain gaji, para pejabat telah mendapatkan biaya operasional yang bisa mereka nikmati di setiap kegiatan.

"Saya pikir itu bisa cukup kalau biaya demokrasinya murah. Karena biayanya mahal, akhirnya siapapun kepala daerah yang terpilih akan terlibat kompromi politik dengan berbagai pihak yang menyumbang," jelasnya.

Pihak yang menyumbang atau kerap disebut oligarki, bisa dipastikan akan mendapatkan bagian dari proyek yang bakal dijalankan selama masa pemerintahan.

"Di situ orang yang menyumbang juga akan mendapat bagian proyek secara ilegal. Kemudian kepala daerahnya juga akan mencari bagian dari APBD itu secara ilegal. Itu sudah pasti," tandasnya.

Tegas, Ferdinand bilang bahwa KPK tidak boleh hanya berfokus pada soal gaji, karena baginya bukan di situ titik masalahnya.

"Itu yang harus dibereskan, KPK mampu tidak? Masalahnya demokrasi kita juga korup tapi KPK apa yang dilakukan? Gak ada, mulut KPK diam aja, gak ada gunanya memang KPK itu," kuncinya. (Muhsin/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan