Menurut profesor di Departemen Riset Sistem Iklim Universitas Tokyo, Yukiko Imada, gelombang panas kali ini tidak biasa. Sebab, untuk pertama kalinya sejak pencatatan dimulai, lebih dari 150 lokasi mengalami panas ekstrem di atas 35°C pada pertengahan Juni.
“Ini juga tidak lazim karena front musim hujan (baiu) telah menghilang, padahal seharusnya kita masih berada di musim hujan,” ujar Imada kepada This Week in Asia.
Menurut Imada, penyebab utama panas ekstrem ini adalah perluasan sistem tekanan tinggi Samudra Pasifik yang tidak biasa terjadi pada bulan Juni. Sistem ini biasanya baru meluas ke wilayah Jepang pada Juli atau Agustus.
Selain itu, ia juga menyoroti prakiraan cuaca tiga bulan dari JMA yang menunjukkan tren mengkhawatirkan. “Ada kemungkinan besar suhu tahun ini akan berada di atas normal,” katanya.
Tahun lalu, Jepang mencatat suhu musim panas tertinggi dalam sejarah, membuat badan cuaca memperkenalkan istilah baru untuk menggambarkan tingkat panas ekstrem, seperti moshobi (hari sangat panas, di atas 35°C) dan kokushobi (hari panas kejam, di atas 40°C).
Beberapa bagian Prefektur Gunma sempat mencatat suhu di atas 40°C pada Juli tahun lalu, angka yang nyaris tidak pernah terjadi sebelum abad ke-21. Namun sejak tahun 2000, suhu di atas 40°C telah tercatat sebanyak 59 kali. Suhu tertinggi yang pernah tercatat di Jepang adalah 41,1°C, terjadi di Prefektur Saitama pada 2018 dan di Shizuoka pada 2020.
Imada menyebutkan bahwa penelitian masih berlangsung untuk memahami gelombang panas saat ini. Dia menilai, kondisi ini turut dipengaruhi pemanasan global yang terjadi di dunia.