Chandra Hamzah Bilang Pedagang Pecel Lele Bisa Kena UU Tipikor, Jhon Sitorus: Negara Ini Tak Bisa Lagi Nangkap Maling APBN?

  • Bagikan
Pegiat Medsos, Jhon Sitorus

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan pakar hukum, Chandra Hamzah mengenai Pedagang Pecel Lele ditrotoar bisa terkena UU Tipikor menuai respons menohok.

Setelah dikuliti Politikus PDIP, Ferdinand Hutahaean, kini Pegiat Medsos, Jhon Sitorus juga memberikan responsnya.

"Apakah negara ini sudah tidak bisa lagi menangkap maling APBN sehingga mulai mengusik penjual pecel lele di trotoar?," ujar Jhon kepada fajar.co.id, Senin (23/6/2025).

Dikatakan Jhon, melakukan pembenahan terhadap aparat penegak hukum jauh lebih bermanfaat dibandingkan mengusik para pedagang kecil.

"Daripada menyasar mereka, lebih baik benahi tubuh penegak hukum utk menangkap mafia-mafia migas dan tambang-tambang nikel," cetusnya.

Jhon bilang, pedagang kecil seperti Pecel Lele hanya buka warung pada malam hari. Kehadiran mereka juga memberikan kontribusi terhadap perputaran ekonomi.

"Sedangkan para koruptor menghentikan roda ekonomi negara ini. Uang yang harusnya bisa dinikmati jutaan orang hanya dinikmati 1 orang saja," tandasnya.

Sebelumnya diberitakan, Chandra Hamzah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Menurutnya, ketentuan ini terlalu luas dan berpotensi menjerat pihak yang tidak semestinya, termasuk pedagang kecil seperti penjual pecel lele di trotoar jalan.

Dalam sidang perkara nomor 142/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/6/2025), Chandra menegaskan pentingnya kejelasan dalam perumusan tindak pidana.

Ia menolak adanya pasal yang kabur atau membuka ruang penafsiran luas, karena bisa melanggar asas lex certa (kepastian hukum) dan lex stricta (kejelasan hukum).

Ia menjelaskan bahwa jika Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dipahami secara ketat, maka seorang penjual pecel lele yang berjualan di trotoar dapat dianggap melanggar hukum.

“Penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ucap Chandra, seperti dikutip dari laman resmi MK.

Ia memaparkan bahwa berjualan di trotoar dapat diklasifikasikan sebagai tindakan melawan hukum, sebab trotoar diperuntukkan bagi pejalan kaki.

Kemudian, jika pedagang mendapatkan keuntungan pribadi dari penggunaan lahan publik yang bukan haknya, dan mengakibatkan kerusakan atau pembatasan fungsi fasilitas umum, maka unsur kerugian negara pun dapat dinilai terpenuhi.

Chandra, yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007–2009, juga menyoroti Pasal 3 UU Tipikor.

Ia menganggap, penggunaan frasa setiap orang terlalu luas, dan tidak mencerminkan sifat khas tindak pidana korupsi yang umumnya terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik.

Ia pun menyampaikan dua usulan penting kepada MK. Pertama, menghapus Pasal 2 ayat (1) karena rumusannya dinilai melanggar prinsip kepastian hukum. Kedua, merevisi Pasal 3 dengan mengacu pada ketentuan dalam Article 19 Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC).

“Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi,” kata Chandra.

“Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, 'Setiap Orang' diganti dengan 'Pegawai Negeri' dan 'Penyelenggara Negara' karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa 'yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara' sebagaimana rekomendasi UNCAC," bebernya. (Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan