“Ada pihak yang juga menyoroti bahwa kebijakan tarif nol persen untuk barang dari Amerika tidak sinkron dengan visi besar Indonesia Emas 2045 yang ingin membangun industri nasional yang mandiri, berteknologi tinggi, dan berdaya saing global,” jelas Ibrahim.
Ketika produk otomotif, agrikultur, dan energi dari Amerika bisa masuk dengan mudah ke pasar domestik, maka industri dalam negeri akan semakin sulit berkembang karena kalah dalam akses, teknologi, dan skala produksi.
Menurut Ibrahim, itu pada akhirnya bisa memperlambat transformasi industri Indonesia dan menempatkan pelaku usaha lokal dalam posisi yang tidak menguntungkan.
“Kondisi ini memperlihatkan adanya asimetri relasi dagang yang berpotensi melemahkan posisi strategis Indonesia di tengah gempuran globalisasi,” terangnya.
Padahal, kata dia, tarif adalah salah satu alat proteksi negara untuk memberikan ruang tumbuh bagi industri dalam negeri agar mampu bersaing di pasar global.
“Indonesia harus mulai mengedepankan diplomasi ekonomi yang strategis dan cerdas. Tidak hanya sekadar mengejar simbol keberhasilan dalam bentuk angka atau pengakuan di media sosial, tetapi memastikan bahwa setiap kesepakatan membawa manfaat riil bagi rakyat,” imbuhnya.
“Diplomasi yang sejati bukanlah tentang siapa yang paling keras bicara, tetapi siapa yang paling tenang membawa pulang kemenangan yang tidak terlihat namun berdampak besar bagi masa depan,” tambahnya.
Meski begitu, ia mengungkapkan pemerintah sudah mengambil langkah awal. Kini waktunya untuk tinjau ulang kebijakan.