Jika tidak ditemukan titik temu, pertarungan dilakukan secara ritual di arena bernama passaungan, setelah kedua pihak dimandikan di sumur keberanian (bujung to barania).
Arena pertarungan ini masih ada hingga kini, berupa gundukan tanah melingkar di bawah pohon kajuarayya. Keluarga dilarang mendekat saat pertarungan berlangsung; mereka hanya diperbolehkan menyaksikan dari atas Bukit Tanetea.
Pertarungan ini bukan sekadar adu kekuatan, tetapi dianggap sebagai cara menegakkan kebenaran. Yang menang dianggap benar, yang gugur diterima dengan ikhlas, tanpa dendam. Senjata milik yang tewas dikubur sebagai tanda duka, sekaligus mengakhiri konflik sepenuhnya.
Sementara itu, di Segeri, sebuah kecamatan di Pangkep, terdapat ritual pembuka musim tanam yang disebut mappalili. Ritual ini dipimpin oleh bissu —komunitas nonbiner yang dipercaya sebagai penjaga hubungan antara manusia dan dunia roh.
Tradisi ini lahir dari krisis gagal panen pada masa Kerajaan Siang, yang mendorong lahirnya kesepakatan: musim tanam harus dibuka dengan upacara adat dan dilakukan serentak agar hasilnya berhasil.
Para bissu bukan sekadar pemimpin upacara. Mereka adalah figur suci yang harus melalui tahapan spiritual panjang sebelum diangkat, termasuk ritual irebbai—kematian simbolik yang menandai kelahiran baru sebagai bissu.
Dalam ritual mappalili, mereka memimpin doa, tarian sere’ bissu, dan maggiri—atraksi spiritual di mana tubuh mereka tidak terluka meski ditusuk badik. Lebih dari sekadar pertunjukan, mappalili menjadi simbol gotong royong, pengelolaan pertanian yang bijak, dan keselarasan antara manusia dan alam.