Sulapa Eppa, Warisan Budaya Bugis dalam Kepemimpinan Nasional Jenderal M Jusuf dan BJ Habibie

  • Bagikan
Jenderal Jusuf dan BJ Habibie. (kolase foto)

Ketika krisis moneter dan politik melanda Indonesia pada 1997–1998, Habibie didaulat menjadi Wakil Presiden dan kemudian menggantikan Soeharto sebagai Presiden ketiga RI pada masa transisi penuh gejolak. Keputusan visionernya untuk memberikan kesempatan jajak pendapat bagi rakyat Timor Timur merupakan langkah berani dan berisiko tinggi, namun ia memilih mendengarkan suara rakyat, meskipun harus menanggung konsekuensi politik berupa penolakan laporan pertanggungjawaban oleh MPR.

Habibie adalah potret sejati dari manusia Bugis yang cerdas dan penuh keteguhan. Ia menjalankan kekuasaan tidak dengan ambisi, melainkan dengan integritas dan semangat pengabdian. Saat kepemimpinannya dikritik, ia menerima dengan lapang dada dan tidak mencalonkan diri kembali.

Justru dalam sikap tawadhu itulah, Habibie menunjukkan kualitas kepemimpinan yang luhur, menjadikannya dikenang sebagai bapak teknologi, bapak demokrasi, dan bapak perdamaian.

Kedua tokoh besar ini menjadi simbol keunggulan nilai-nilai Bugis dalam praktik kepemimpinan nasional. Mereka tidak hanya mewariskan kebijakan, institusi, atau sejarah, tetapi juga mewariskan karakter. Karakter yang dibentuk dari akar budaya Sulapa Eppa, yang hari ini semakin relevan di tengah krisis keteladanan dan degradasi nilai di ruang publik.

Baik Jenderal Muhammad Jusuf maupun Presiden B.J. Habibie telah membuktikan bahwa budaya lokal bukanlah penghambat kemajuan, melainkan fondasi kokoh bagi masa depan bangsa.

Dalam budaya Bugis, dikenal pula ungkapan luhur “Resopa temmangingi naletei pammase dewata” yang berarti "Usaha yang sungguh-sungguh akan mengundang rahmat Tuhan." Semangat inilah yang menyatu dalam kepribadian mereka berdua. Kejujuran yang mereka pegang, kecerdasan yang mereka kembangkan, ketegasan yang mereka pertahankan, dan keberanian yang mereka tunjukkan, semuanya lahir dari keyakinan bahwa jabatan bukanlah tempat menumpuk kekuasaan, melainkan sarana pengabdian.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan