Singgung Hubungan Prabowo dan Jokowi, Prof Henri Subiakto: Kepentingan yang Akan Menentukan Konflik

  • Bagikan
Henri Subiakto

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Universitas Airlangga (Unair), Prof. Henri Subiakto, kembali blak-blakan mengenai sandiwara politik di Indonesia.

Dikatakan Henri, panggung politik hampir mirip dengan dunia intelejen. Musuh atau lawan, bisa saja diajak seakan bersahabat.

"Diajak makan bersama. Diajak ketawa bersama. Tampil bersama, bahkan saling puja di depan orang banyak," kata Henri di X @henrysubiakto (9/8/2025).

Sebaliknya, Henri membeberkan bahwa dalam politik dan intelejen sahabat atau teman sejalan yang bekerja sama, kadang harus bisa pura-pura bermusuhan.

"Pura-pura saling serang. Dan pura-pura seperti rivalitas. Itulah front stage, panggung depan politik," sebutnya.

Lebih jauh, Henri mengatakan bahwa yang menentukan adanya konflik atau tidak dalam drama politik adalah tergantung masing-masing kepentingan.

"Sesungguhnya yang menentukan adanya konflik atau tidak, itu adalah kepentingan," imbuhnya.

"Kalau kepentingan mereka ada kesamaaan, ya mereka akan kerjasama. Kalau kepentingan di antara mereka berbeda apalagi berkebalikan, ya walau ditutup-tutupi, pasti mereka itu akan berkonflik," tambahnya.

Kata Henri, terbuka dan tertutupnya konflik tersebut tergantung strategi masing-masing dalam mencapai kepentingan.

"Dramaturgi harus dilakukan agar yang nampak menjadi masuk akal, bisa diterima dan mudah dipahami publik," tukasnya.

Meskipun demikian, Henri menuturkan bahwa publik yang kritis akan mudah memahaminya dengan melihat kepentingan politik pribadi di antara para aktor.

"Bagi Aktor politik, Kepentingan tahun 2024 bisa beda dengan tahun 2025. Bisa beda lagi dengan kepentingan 2029, dan seterusnya," terangnya.

Ia memberikan gambaran, sewaktu-waktu kepentingan para elite politik bisa saja sama. Namun pada waktu berbeda kepentingan mereka bisa jadi berubah.

"Di situ untuk memahami secara utuh dan benar, harus dilihat konteks dari berbagai aspek. Dilihat dari aspek kebijakan. Aspek pilihan orang. Dan rangkaian kejadian hingga pernyataan pernyataan yang menyertai," ucapnya.

Diakui Henri, ideologi dan nasionalisme di antara para elite politik bisa saja ada kesamaaan, sehingga mendekatkan atau mengurangi perbedaan dinamika kepentingan di antara mereka.

"Tapi kesamaan ideologi dan ikatan nasionalisme itu tidak terus menerus kuat apalagi langgeng. Tidak demikian," bebernya.

Terlebih, kata Henri, pada era politik pragmatis dan materialistis seperti saat ini, yang menonjol sebagai basis interaksi politik hanya kepentingan pribadi dan kelompok pada konteks waktu tertentu.

"Sedang kesamaan kesamaan idealisme dan kenegarawanan makin nampak melemah bahkan banyak yang luntur. Di situlah mengapa kita jangan naif dalam memahami politik. Apa yang kita anggap baik, belum tentu faktanya (terutama yg tersembunyi) juga baik seperti yang kita harapkan. Malah bisa sebaliknya," tandasnya.

Ia menarik contoh hubungan antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi. Meskipun nampak harmonis di hadapan publik, tapi di baliknya hanya mereka berdua yang tahu.

"Jadi jangan baper. Reaksi kebaperan anda menunjukkan siapa anda," kuncinya.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan