Di lain sisi, keberadaan BEM-U menjelang evaluasi PTN-BH ialah sebagai medium pendistribusian anggaran kemahasiswaan di tingkat universitas. Sebab, terkesan sangat dipaksakan, walau masih ada sejumlah lembaga tingkat fakultas yang menolak. Demikian ini, jelas menciderai prinsip dari lembaga mahasiswa itu sendiri, yakni “dari, oleh dan untuk mahasiswa”.
Selanjutnya, terdapat variabel lain untuk membantu melihat motif suksesi PTN-BH Unhas. Pertama, lembaga yang tergabung dalam federasi diklaim sebagai lembaga yang “melawan”. Alhasil diberi sanksi pembekuan lembaga, meski tidak dilandasi dengan mekanisme yang seharusnya. Kedua, intervensi bukan lagi sebatas kelembagaannya, akan tetapi menyeret hingga individu-individu tertentu dalam lembaga tersebut. Mulai dari segi akademiknya hingga meneyerang personalnya. Ditambah lagi tersebarnya terror (lebeling ‘anarko’) yang merujuk ke individu hingga ketua lembaga yang tergabung dalam federasi. Terror tersebut tersebar di group-group WhatsApp meski tidak ada validasi yang terpercaya. Sehingga berdampak secara psikis bagi individu yang bersangkutan. Fenomena ini mirip dengan fenomena Orde Baru di tahun 80-an dengan mencap komunis orang-orang yang dianggap mengancam penguasa. Bedanya, kondisi sekarang bukan lagi komunis namun “Anarko” yang dinilai sangat merugikan.
Ketiga, sejumlah ‘kegiatan dadakan’ diadakan oleh birokrasi kampus—digencarkan demi penghabisan anggaran. Terutama birokrasi fakultas untuk lembaga yang “dibekukan” ataupun yang tidak diakui—diberhentikan distribusi dana kemahasiswaannya. Sebab, anggaran untuk periode berjalan mesti dihabiskan, atau kalau tidak dikembalikan. Dengan begitu, penganggaran dana pada periode selanjutnya mendapat pemangkasan. Hal ini, nampaknya, dihindari oleh beberapa birokrasi fakultas yang bersangkutan dikarenakan tuntutan untuk penilaian PTN-BH terutama pada audit keuangan. Sehingga dapat diasumsikan, jika anggaran dana dihabiskan sesuai dengan yang telah dianggarkan maka dinilai produktif.