Mulai dari kegiatan, dekanat FISIP membuat diskusi publik dengan menghadirkan ketua BEM-U hingga mencanangkan program Latihan Kepemimpinan tingkat Menengah (LK II tingkat dekanat), dan sayangnya tidak mengundang BEM FISIP (seharusnya tuan rumah), FIB, dan SEMA FEB sementara BEM lainnya diundang sebagai peserta. Selain dari dekanat FISIP dekanat fakultas kehutanan juga membuat program BINA DESA, dan setelah disurvei menurut salahsatu mahasiswa kehutanan, kegiatan tersebut sepertinya hanya berlangsung 3 jam. Sampai-sampai semua panitia dibagikan kaos gratis.
Hal serupa juga dilakukan oleh dekanat FIB, kegiatan BINA DESA bahkan diselenggarakan di dua titik, Maros dan Benteng Somba Opu, hingga kegiatan kelas Problem Solving. Untuk dua fakultas yang belum tersebutkan, bisa jadi ada kegiatan dadakan juga, namun tidak teridentifikasi. Bisa saja disembunyikan atau dikemas dalam bentuk lain.
Sebagai kesimpulan, dari berbagai motif Unhas demi meloloskan diri dalam evaluasi PTN-BH berdampak besar bagi lembaga yang dilabeli ‘melawan’. Disamping itu, rasa pesimis beberapa lembaga fakultas yang malah membentuk BEM-U, justru memecah gerakan mahasiswa Unhas. Jadi, terbentuknya BEM Universitas sebagai jawaban atas polemik yang dihadapi mahasiswa, ialah keliru. Sekali lagi, kehadiran BEM-U ialah demi memenuhi assessment Unhas dalam evaluasi PTN-BH. Dari keseluruhan persoalan internal gerakan mahasiswa Unhas—menjadi rahasia publik juga, tentu berpengaruh pada gerakan mahasiswa Unhas dalam momentum sumpah pemuda. Terakhir, melihat persoalan tersebut, kita seharusnya kembali merfleksikan diri masing-masing. Sehingga peringatan sumpah pemuda, tidak sekadar berlalu begitu saja. Apakah pilihan yang diambil, telah salah langkah ataupun salah metode. Dan terpenting adalah tidak melupakan pesan Tan Malaka dalam pembuka tulisan di atas.