Belajar dari NH dan Golkar

  • Bagikan

Di lain pihak, melihat sikap NH sendiri yang tidak ambil pusing, membuat publik berasumsi kalau semua tudingan yang dialamatkan kepadanya, boleh jadi memang benar. Bahkan penulis pun tak luput berasusmsi seperti itu. Bukan apa. Ia tak sekalipun mencoba menepis tudingan itu secara langsung. Seolah tak peduli orang mau bilang apa. Paling jauh menyuruh orang lain melakukan bantahan. “Itulah akrobatik politik,” jawabnya singkat tatkala saya mencoba mengklarifikasi sebelum memutuskan Musda dipindahkan ke Jakarta.

“Akrobatik politik, maksudnya apa?” tanyaku dalam hati. Apakah manuver Supri dan para dedengkot Faksi Pembaharuan, baginya tak lebih dari sekadar sebuah pertunjukan akrobatik? Sehingga ia tampak tenang-tenang saja menikmatinya sebagai sebuah hiburan. Wow….! Otak manusia satu ini memang brillian.

Bayangkan, sementara sebagian orang menilai diskresi Supri sebagai kekalahan telak baginya, NH justeru menjadikannya sebagai instrumen untuk menguak yang tersembunyi. Baginya, diskresi itu membuat semuanya menjadi terang benderang : siapa mendukung siapa. Inilah modal paling penting yang dimiliki NH untuk mengendalikan Musda X Golkar Sulsel dari awal hingga akhir.

Tampaknya publik pada umumnya tidak tahu kalau kepentingan terbesar NH dalam Musda kali ini adalah mengamankan amanah Airlangga Hartarto selaku Ketum DPP Golkar, yaitu, mensukseskan Musda tanpa gejolak. Oleh karena itu, bagi NH, kepentingan memenuhi amanah Ketum tersebut, jauh lebih penting dari pada sekadar berkuasa di Golkar Sulsel, seperti yang ditudingkan kepadanya. Mengapa? Untuk apa mengontrol penuh Golkar Sulsel, kalau Airlangga sendiri, tidak ridho padanya? Ini yang tidak dibaca secara cermat oleh para penentangnya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan