Sekarang, mari kita uji sejauh mana rasionalitas hipotesis di atas dengan fakta yang terjadi di forum Musda. Tatkala Steering Committee membacakan hasil verifikasi syarat dukungan masing-masing kandidat, hanya Hamka B. Kadhy satu-satunya yang memenuhi syarat dukungan minamal 30% dari pemilik suara Musda. Apa yang terjadi? Menurut aturan main yang berlaku di Golkar, setiap dukungan ganda, dinyatakan batal.
Akibatnya, setelah surat dukungan diverifikasi, Hamka B. Kadhy yang semula mendapat 16 surat dukungan, tinggal sepuluh. Supriansa yang mendapat 12 surat dukungan, tinggal dua. Taufan Pawe yang mendapat 14 surat dukungan, tinggal sembilan. Syamsuddin Hamid yang mendapat 4 surat dukungan, tinggal satu. Mengapa bisa terjadi? Yah, begitulah dinamika Musda kalau terjadi lebih dari 1 kandidat. Bagi pemilik suara, itulah momentum untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Yah, lazim hukum ekonomi semacam itu, berlaku dimana-mana.
Pada situasi itu, jika saja NH benar-benar bermaksud kembali mengontrol Golkar Sulsel untuk 5 tahun ke depan melalui tangan Hamka, maka, NH tidak akan membuang peluang dan kesempatan itu begitu saja. Ia bahkan tidak perlu melakukan intervensi lebih jauh. Tetapi cukup membiarkan forum berlangsung apa adanya, sesuai tata tertib yang berlaku. Suka tidak suka, terima tidak terima, sebagai calon tunggal, maka, Hamka-lah yang akan terpilih secara sah sebagai Ketua DPD Golkar Sulsel.
Tetapi tidak. NH tak membiarkan itu terjadi, sebab tak mau ada yang terluka. Semenjak ia berhasil “menguak yang tersembunyi” melalui instrumen diskresi Supri, tampaknya sudah terbangun sebuah skenario di kepalanya, bagaimana mensukseskan Musda sesuai harapan Airlangga. Musyawarah! Benar, itu dia. Hanya mekanisme musyawarah itulah yang bisa menghasilkan Musda tanpa gejolak. Begitu pula dengan keputusannya memindahkan Musda ke Jakarta, merupakan rangkaian dari skenario itu.