Oleh: Minsarnawati*
Bunuh diri pada mahasiswa menjadi salah satu masalah serius yang menimpa kampus saat ini. Dari waktu ke waktu, berita tragis tentang mahasiswa yang mengakhiri hidup mereka semakin sering kita baca. Fakta ini hanya puncak gunung es dari masalah yang lebih besar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), secara umum tingkat bunuh diri di Indonesia telah meningkat secara signifikan.
Dua kasus dugaan bunuh diri dalam satu bulan dilaporkan terjadi di Kota Semarang pada Oktober lalu dilakukan oleh mahasiswa. Seorang mahasiswi sebuah PTN ditemukan tewas di Mal Paragon Semarang pada Selasa, 10 Oktober 2023. Keesokan harinya, Rabu, 11 Oktober 2023, seorang mahasiswa dari PTS di Semarang juga ditemukan meninggal dunia di dalam kamar indekosnya.
Dua kasus terkini terjadi di Jawa Timur, tepatnya Minggu, 5 November 2023, seorang mahasiswi FKH Unair mengakhiri hidupnya di dalam mobilnya sendiri. Kejadian terbaru pada Rabu, 15 November 2023, seorang mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dilaporkan meninggal di tempat setelah menabrakkan dirinya pada KA Gajayana di jalur kereta api Desa Ketanon, Kecamatan Kedungwaru, Tulungagung. Bagaimana kejadian menyedihkan ini dapat terjadi di tengah budaya dan tradisi sosial masyarakat Indonesia yang religius?
Perguruan tinggi ikut bertanggung jawab
Kita menganggap bahwa mahasiswa memiliki fase kehidupan yang penuh potensi dan kesempatan yang baik, namun kenyataannya mereka sedang tidak baik-baik saja. Kita harus mengakui bahwa generasi muda kita sedang mengalami krisis kesehatan mental. Mereka lemah dan tidak siap secara mental menghadapi problema hidup mereka sehingga dengan mudah mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup mereka sendiri ketika mengalami tekanan mental, depresi, dan kesepian.
Perguruan tinggi ikut bertanggung jawab dan harus menjadi bagian dari solusi penanggulangan masalah ini. Krisis kesehatan mental yang dialami mahasiswa adalah problematika yang penuh kompleksitas yang rumit. Banyak faktor yang mendorong mahasiswa untuk mengambil langkah ini, seperti faktor tekanan akademik, masalah finansial, stigmatisasi terhadap kesehatan mental, serta ketidakpastian masa depan. Apabila ditilik dari penyebabnya dan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan, maka perguruan tinggi memegang peranan yang sangat penting.
Perguruan tinggi menjadi bagian dari solusi
Penanggulangan masalah bunuh diri pada mahasiswa yang efektif adalah melakukan pencegahan dengan intervensi berbasis institusi. Setiap perguruan tinggi wajib mengembangkan program pencegahan bunuh diri pada mahasiswa di institusi masing-masing.
Langkah pencegahan yang dapat dilakukan perguruan tinggi adalah menciptakan Kampus Ramah Mahasiswa, yaitu satu program integratif dan kolaboratif yang melibatkan perguruan tinggi, pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Program ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kampus yang mendukung kesejahteraan mental mahasiswa. Contoh program yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi untuk menciptakan Kampus Ramah Mahasiswa, yaitu:
Pertama, program layanan dan edukasi kesehatan mental. Setiap fakultas membuka layanan kesehatan mental yang mudah diakses, seperti konseling dan psikoterapi, serta melakukan acara rutin seperti lokakarya, seminar, atau ceramah tentang manajemen stres dan cara mengidentifikasi gejala gangguan kesehatan mental, serta melakukan kampanye untuk menghilangkan stigma terkait dengan pencarian bantuan kesehatan mental.
Kedua, program kurikulum kesehatan mental. Kesehatan mental harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan di perguruan tinggi. Setiap fakultas wajib memberikan dukungan akademis, berupa bimbingan akademis dan mentoring untuk membantu mahasiswa mengatasi tekanan akademisnya. Sekaligus melakukan evaluasi terhadap kebijakan akademis yang dapat menimbulkan tekanan berlebih pada mahasiswa, serta memastikan bahwa beban akademis dapat dikelola dengan baik dan tidak menyebabkan stres berlebih.
Ketiga, program resiliensi dan keterampilan hidup. Setiap fakultas menyelenggarakan program yang mendorong pengembangan keterampilan hidup, manajemen stres, dan ketahanan mental. Bentuk kegiatannya seperti: menyelenggarakan program kebugaran emosional berupa kegiatan fisik dan olahraga, menggalakkan kegiatan sosial dan klub, mendorong penciptaan ruang aman di kampus, mempromosikan dukungan teman sebaya, dan memfasilitasi komunitas yang mendukung pertemanan dan saling peduli.
Keempat, program pemantauan dan dukungan kedaruratan. Setiap fakultas menerapkan sistem early detection untuk mengidentifikasi mahasiswa yang mungkin berisiko bunuh diri atau mengalami masalah kesehatan mental serius. Penyediaan layanan darurat untuk merespons situasi krisis mahasiswa seperti hotline darurat 24 jam. Selain itu, Penyelenggaraan kegiatan pelatihan staf dan dosen, agar mereka dapat ikut mendeteksi masalah kesehatan mental di kampus.
Kelima, program kemitraan dengan pemerintah, pusat kesehatan mental lokal dan keluarga. Perguruan tinggi harus bermitra dengan pemerintah untuk meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan mental dan menciptakan regulasi yang mendukung upaya ini. Perguruan tinggi juga dapat mengembangkan kemitraan dengan layanan kesehatan mental eksternal untuk memberikan sumber daya tambahan dan rujukan jika diperlukan. Kemitraan yang tidak kalah penting yaitu keterlibatan keluarga, karena keluarga merupakan sumber dukungan utama bagi mahasiswa.
Keenam, program penelitian dan evaluasi. Perguruan tinggi harus melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko bunuh diri di lingkungannya, sekaligus melakukan evaluasi efektivitas program pencegahan dan melakukan penyesuaian jika dibutuhkan.
Realisasi program-program ini telah dilaksanakan oleh Harvard University, seperti Suicide Prevention Education on Campus, Means Matter, dan Training in Comparative Effectiveness Research for Suicide Prevention. Ketiga bentuk kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan layanan konseling dan kesehatan mental, meningkatkan jumlah kelompok anti bunuh diri, dan menyelenggarakan pelatihan dan penelitian efektivitas komparatif untuk pencegahan bunuh diri. Selain itu, Harvard University juga memiliki Pusat Penelitian dan Pencegahan Bunuh Diri.
Implementasi program Kampus Ramah Mahasiswa merupakan solusi kunci untuk mengatasi krisis kesehatan mental pada mahasiswa saat ini dan secara dini mencegah kejadian bunuh diri pada mahasiswa di masa yang akan datang. Mari dukung dan aktif mengampanyekan gerakan “Ciptakan Kampus Ramah Mahasiswa” agar program ini dapat menjadi kebijakan nasional yang berlaku di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. (#)
*Dr. Minsarnawati, SKM, M.Kes adalah dosen Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk menyapanya bisa melalui Facebook minsarnawati tanaca, Instagram @minsarnawati tanaca atau Email [email protected]