“Pertama kekalahan 03 dan juga 01 di Pilpres, dengan berbagai macam penyebabnya. Kedua kekalahan mereka di Parlemen dengan pupusnya Hak Angket, sehingga tabir gelap perusakan demokrasi tak bisa diungkap lewat jalur politik,” jelasnya.
“Ketiga kemungkinan kekalahan di MK jika tim hukum mereka tak mampu meyakinkan para hakim konstitusi. Kedudukan skor bisa 3-0 untuk kemenangan Jokowi,” sambungnya.
Namun yang jadu persoalan, kata fua,
para ahli hukum pendukung 02 selalu menyuarakan bahwa MK hanya mengadili sengketa suara pemilu, hingga MK sering diplesetkan sebagai Mahkamah Kalkulator.
Sedangkan pihak penggugat berpegang pada prinsip MK mempunyai kewenangan membatalkan Pemilu. Seperti pernah diungkapkan Prof Yusril Ihza Mahendra 2014.
“Tapi menurut Yusril dkk sekarang Kewenangan MK sudah berubah karena aturan UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengatur fungsi MK. Ini titik tolak perdebatannya. MK menurut pendukung 02 harus tunduk pada UU,” terangnya.
Sementara pihak penggugat mengingatkan bahwa MK itu lahir dari amanat konstitusi. Tugasnya mengadili UU berdasar UUD atau konstitusi. Selain itu MK juga mengadili pelaksanaan UU dengan dasar Konstitusi.
“Kalau sekarang MK ditarik dengan dibatasi UU no 7 tahun 2017 & tafsirnya. Maka peran MK didorong hanya jadi pelaksana UU. Padahal UU no 7 tahun 2017 itu dulu dibuat dlm rangka “memfasilitasi” Jokowi di Pemilu 2019,” ungkapnya.
Sebagian ahli hukum lain berpendapat hanya konstitusi yang bisa membatasi peran MK. Jika UU membatasi MK, maka para hakim MK tidak bisa mengadili UU. Tidak boleh menyalahkan UU. Mereka harus taat dengan isi UU, sebagaimana tugas hakim “biasa.”