Kereta Datang, Banjir Datang

  • Bagikan
Kereta Api Lontara di Stasiun Mandai, Maros, Sulawesi Selatan (Foto: Arya Nur Prianugraha/Fajar)

Annisa kini berumur 18 tahun. Umurnya tiga tahun saat ayah kandungnya cerai dengan Fera. Sejak saat itu, Fera membesarkan Annisa sendiri, sebelum akhirnya menikah dengan Muhammad beberapa waktu kemudian. 

Saat Muhammad dan Sulfiah meninggal terseret banjir, Annisa masih 12 tahun. Saat itu Fera kembali jadi orang tua tunggal.

Fera membiayai sekolah Annisa dari hasil gembala sapi dan pelihara ayam kampung. Ada total lima sapi yang ia gembala saat ini. 

“Semenjak suamiku meninggal, pendapatanku dari hasil pelihara sapi. Sapinya om-ku. Dari situ Annisa bisa selesaikan sekolahnya.”

Tahun ini, Annisa telah menyelesaikan sekolahnya. Tapi Annisa maklum, kondisi perekonomian keluarganya tidak mampu membiayai dirinya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

“Tidak usah kuliah mama, tidak ada uang,” kata Fera meniru perkataan Annisa saat baru lulus sekolah. “Kubilang iya nak. Tamat SMK sudahmi. Apa kasihan mau dipake (biaya kuliah),” timpal Fera kala itu.

Keterbatasan ekonomi memang hal yang membuat Annisa tak berkuliah. Tapi itu hanya satu hal. Hal lainnya, jika ia kuliah, Annisa akan meninggalkan rumah. Meninggalkan ibunya dengan kesendirian dan traumanya.

Bala banjir di Barru akibat pembangunan rel kereta api tidak hanya dirasakan Fera dan Annisa. Warga Takkalasi yang perekonomiannya ditopang hasil sawah dan tambak juga terdampak.

Sawah dan empang mulanya digusur untuk pembangunan rel. Di Barru, total pembebasan lahan 763 hektare. Di antaranya sawah non irigasi 720 hektare, lahan kosong atau kebun 27.19 hektare, dan tambak 43 hektare.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan