“Memang seperti itu. Makro sekali dia buat analisis. Karena yang dikerjakan mengikuti ToR (kerangka acuan),” ucap Mahmud.
Gorong-gorong yang diharap bisa memaksimalkan irigasi dan peresapan, dipasang hanya satu titik untuk wilayah Balusu. Terletak 324 meter dari sisi kanan Stasiun Takkalasi, tepat pada fly over atau jembatan layang yang melintasi Jalan Poros Balusu.
Namun gorong-gorong itu janggal. Pemasangannya lebih tinggi dari jalan.
Gorong-gorong yang dipasang di sebelah kiri dan kanan Jalan Poros Balusu lebih tinggi dari jalan (Foto: Arya Nur Prianugraha/Fajar)
“Ini menurut saya anomali. Kenapa anomali? Masa saluran (gorong-gorong) lebih tinggi daripada jalan. Berarti kalau salurannya penuh, jalannya tenggelam. Aneh. Ini aneh,” kata Prof Farouk Maricar, Ahli Hidrologi Universitas Hasanuddin, saat diperlihatkan foto gorong-gorong tersebut.
Selain posisi gorong-gorong yang lebih tinggi dari jalan, saluran penyambungnya juga tidak ada. “Alirannya dari mana. Dari pemukiman atau bagaimana? Kenapa tidak ada saluran yang mengarah pada box culvert tersebut. Ini aneh,” katanya dengan mengerutkan dahi.
“Ini perlu dikritisi,” Farouk bahkan tertarik untuk menelitinya lebih lanjut. “Ini sudah bisa dijadikan sebagai landasan mengkritik.”
Pada prinsipnya, jelas Farouk, saluran berguna agar aliran air lancar. Itu menentukan apakah pembangunan rel tersebut memang mengakibatkan banjir atau tidak.
“Kalau semua drainase dari hulu itu diakomodir, dibuatkan culvert, memang banjir yang terjadi melebihi kapasitas perencanaan. Tapi kalau memang tidak diakomodir, memang itu (banjir) terjadi karena pembangunan rel kereta api,” terangnya.