“Padahal yang harus diciptakan adalah ekosistem kebudayaan itu. Bagaimana lingkungan, kepercayaan, ekonomi dan sebagainya. Jadi satu kesatuan holistik. Selama ini kebudayaan itu dicincang-cincang. dipilah-pilah,” tambahnya.
Hal tersebut dinilainya bukan tanpa alasan. Membangun kebudayaan, tidak sama dengan membangun infrastruktur.
“Kebudayaan itu tidak seksi untuk dijual. Kenapa? Karena proses kebudayaan itu minimal 25 tahun baru nampak. Panjang. Proses non fisik ini 25 tahun baru nampak hasilnya secara non stop,” jelasnya.
Ali Armunanto menyebut, itulah alasan kenapa politisi menebar citra kepeduliannya saat masa kampanye. Ia seolah ingin menyamakan nilai dirinya dengan seluruh pihak.
“Ini yang disebut homofili, komunikasi politik yang seolah bersimpati pada kelompok masyarakat tertentu, supaya menimbulkan kesamaan nilai,” jelas Ali.
Tujuannya, agar bisa menggaet suara. Namun jika terpilih, kenyataannya berbeda.
“Nilai itu kemudian yang dieksploitasi,” pungkas Dosen Universitas Hasanuddin itu.
(Arya/Fajar)