"Ini kan demokrasi kita mahal, jadi menjadi biang kerok korupsi, itu yang pertama. Kedua baru soal gaji, karena memang gaji juga menentukan. Tapi kalau demokrasinya murah, orang mungkin akan siap terima gajinya segitu," tambahnya.
Kata Ferdinand, selain gaji, para pejabat telah mendapatkan biaya operasional yang bisa mereka nikmati di setiap kegiatan.
"Saya pikir itu bisa cukup kalau biaya demokrasinya murah. Karena biayanya mahal, akhirnya siapapun kepala daerah yang terpilih akan terlibat kompromi politik dengan berbagai pihak yang menyumbang," jelasnya.
Pihak yang menyumbang atau kerap disebut oligarki, bisa dipastikan akan mendapatkan bagian dari proyek yang bakal dijalankan selama masa pemerintahan.
"Di situ orang yang menyumbang juga akan mendapat bagian proyek secara ilegal. Kemudian kepala daerahnya juga akan mencari bagian dari APBD itu secara ilegal. Itu sudah pasti," tandasnya.
Tegas, Ferdinand bilang bahwa KPK tidak boleh hanya berfokus pada soal gaji, karena baginya bukan di situ titik masalahnya.
"Itu yang harus dibereskan, KPK mampu tidak? Masalahnya demokrasi kita juga korup tapi KPK apa yang dilakukan? Gak ada, mulut KPK diam aja, gak ada gunanya memang KPK itu," kuncinya. (Muhsin/Fajar)