Ia menolak adanya pasal yang kabur atau membuka ruang penafsiran luas, karena bisa melanggar asas lex certa (kepastian hukum) dan lex stricta (kejelasan hukum).
Ia menjelaskan bahwa jika Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dipahami secara ketat, maka seorang penjual pecel lele yang berjualan di trotoar dapat dianggap melanggar hukum.
“Penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ucap Chandra, seperti dikutip dari laman resmi MK.
Ia memaparkan bahwa berjualan di trotoar dapat diklasifikasikan sebagai tindakan melawan hukum, sebab trotoar diperuntukkan bagi pejalan kaki.
Kemudian, jika pedagang mendapatkan keuntungan pribadi dari penggunaan lahan publik yang bukan haknya, dan mengakibatkan kerusakan atau pembatasan fungsi fasilitas umum, maka unsur kerugian negara pun dapat dinilai terpenuhi.
Chandra, yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007–2009, juga menyoroti Pasal 3 UU Tipikor.
Ia menganggap, penggunaan frasa setiap orang terlalu luas, dan tidak mencerminkan sifat khas tindak pidana korupsi yang umumnya terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik.
Ia pun menyampaikan dua usulan penting kepada MK. Pertama, menghapus Pasal 2 ayat (1) karena rumusannya dinilai melanggar prinsip kepastian hukum. Kedua, merevisi Pasal 3 dengan mengacu pada ketentuan dalam Article 19 Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC).